Keyword :
BAB II
DASAR-DASAR
PEWARISAN MENDEL
Hukum Segregasi
Hukum Pemilihan Bebas
Formulasi Matematika
Silang Balik dan Silang Uji
Modifikasi Nisbah Mendel
Teori Peluang
Uji X2
Alel Ganda
2
BAB II. DASAR-DASAR PEWARISAN MENDEL
Seorang biarawan dari Austria, bernama Gregor Johann
Mendel, menjelang akhir abad ke-19 melakukan
serangkaian percobaan persilangan pada kacang ercis
(Pisum sativum). Dari percobaan yang dilakukannya selama
bertahun-tahun tersebut, Mendel berhasil menemukan
prinsip-prinsip pewarisan sifat, yang kemudian menjadi
landasan utama bagi perkembangan genetika sebagai suatu
cabang ilmu pengetahuan. Berkat karyanya inilah, Mendel
diakui sebagai Bapak Genetika.
Mendel memilih kacang ercis sebagai bahan
percobaannya, terutama karena tanaman ini memiliki
beberapa pasang sifat yang sangat mencolok perbedaannya,
misalnya warna bunganya mudah sekali untuk dibedakan
antara yang ungu dan yang putih. Selain itu, kacang ercis
merupakan tanaman yang dapat menyerbuk sendiri, dan
dengan bantuan manusia, dapat juga menyerbuk silang. Hal
ini disebabkan oleh adanya bunga sempurna, yaitu bunga
yang mempunyai alat kelamin jantan dan betina.
Pertimbangan lainnya adalah bahwa kacang ercis memiliki
3
daur hidup yang relatif pendek, serta mudah untuk
ditumbuhkan dan dipelihara. Mendel juga beruntung,
karena secara kebetulan kacang ercis yang digunakannya
merupakan tanaman diploid (mempunyai dua perangkat
kromosom). Seandainya ia menggunakan organisme
poliploid, maka ia tidak akan memperoleh hasil persilangan
yang sederhana dan mudah untuk dianalisis.
Pada salah satu percobaannya Mendel menyilangkan
tanaman kacang ercis yang tinggi dengan yang pendek. Tanaman
yang dipilih adalah tanaman galur murni, yaitu tanaman yang
kalau menyerbuk sendiri tidak akan menghasilkan tanaman yang
berbeda dengannya. Dalam hal ini tanaman tinggi akan tetap
menghasilkan tanaman tinggi. Begitu juga tanaman pendek akan
selalu menghasilkan tanaman pendek.
Dengan menyilangkan galur murni tinggi dengan galur
murni pendek, Mendel mendapatkan tanaman yang semuanya
tinggi. Selanjutnya, tanaman tinggi hasil persilangan ini
dibiarkan menyerbuk sendiri. Ternyata keturunannya
memperlihatkan nisbah (perbandingan) tanaman tinggi terhadap
tanaman pendek sebesar 3 : 1. Secara skema, percobaan Mendel
dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut.
4
P : ♀ Tinggi x Pendek ♂
DD dd
Gamet D d
F1 : Tinggi
Dd
Menyerbuk sendiri (Dd x Dd)
F2 :
Gamet
Gamet
D DD
D d
d Dd
(tinggi)
(tinggi)
Dd
(tinggi)
dd
(pendek
)
Tinggi (D-) : pendek (dd) = 3 : 1
DD : Dd : dd = 1 : 2 : 1
5
Gambar 2.1. Diagram persilangan monohibrid untuk
sifat tinggi tanaman
Individu tinggi dan pendek yang digunakan pada awal
persilangan dikatakan sebagai tetua (parental), disingkat P.
Hasil persilangannya merupakan keturunan (filial) generasi
pertama, disingkat F1. Persilangan sesama individu F1
menghasilkan keturunan generasi ke dua, disingkat F2. Tanaman
tinggi pada generasi P dilambangkan dengan DD, sedang
tanaman pendek dd. Sementara itu, tanaman tinggi yang
diperoleh pada generasi F1 dilambangkan dengan Dd.
Pada diagram persilangan monohibrid tersebut di atas,
nampak bahwa untuk menghasilkan individu Dd pada F1, maka
baik DD maupun dd pada generasi P membentuk gamet (sel
kelamin). Individu DD membentuk gamet D, sedang individu dd
membentuk gamet d. Dengan demikian, individu Dd pada F1
merupakan hasil penggabungan kedua gamet tersebut. Begitu
pula halnya, ketika sesama individu Dd ini melakukan
penyerbukan sendiri untuk menghasilkan F2, maka masing-
masing akan membentuk gamet terlebih dahulu. Gamet yang
dihasilkan oleh individu Dd ada dua macam, yaitu D dan d.
Selanjutnya, dari kombinasi gamet-gamet tersebut diperoleh
6
individu-individu generasi F2 dengan nisbah DD : Dd : dd = 1 : 2
: 1. Jika DD dan dd dikelompokkan menjadi satu (karena sama-
sama melambangkan individu tinggi), maka nisbah tersebut
menjadi D : dd = 3 : 1.
Dari diagram itu pula dapat dilihat bahwa pewarisan suatu
sifat ditentukan oleh pewarisan materi tertentu, yang dalam
contoh tersebut dilambangkan dengan D atau d. Mendel
menyebut materi yang diwariskan ini sebagai faktor keturunan
(herediter), yang pada perkembangan berikutnya hingga
sekarang dinamakan gen.
Terminologi
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui untuk menjelaskan
prinsip-prinsip pewarisan sifat. Seperti telah disebutkan di atas,
P adalah individu tetua, F1 adalah keturunan generasi pertama,
dan F2 adalah keturunan generasi ke dua. Selanjutnya, gen D
dikatakan sebagai gen atau alel dominan, sedang gen d
merupakan gen atau alel resesif. Alel adalah bentuk alternatif
suatu gen yang terdapat pada lokus (tempat) tertentu. Gen D
dikatakan dominan terhadap gen d, karena ekpresi gen D akan
menutupi ekspresi gen d jika keduanya terdapat bersama-sama
dalam satu individu (Dd). Dengan demikian, gen dominan
7
adalah gen yang ekspresinya menutupi ekspresi alelnya.
Sebaliknya, gen resesif adalah gen yang ekspresinya ditutupi
oleh ekspresi alelnya.
Individu Dd dinamakan individu heterozigot, sedang
individu DD dan dd masing-masing disebut sebagai individu
homozigot dominan dan homozigot resesif. Sifat-sifat yang
dapat langsung diamati pada individu-individu tersebut, yakni
tinggi atau pendek, dinamakan fenotipe. Jadi, fenotipe adalah
ekspresi gen yang langsung dapat diamati sebagai suatu sifat
pada suatu individu. Sementara itu, susunan genetik yang
mendasari pemunculan suatu sifat dinamakan genotipe. Pada
contoh tersebut di atas, fenotipe tinggi (D) dapat dihasilkan dari
genotipe DD atau Dd, sedang fenotipe pendek (dd) hanya
dihasilkan dari genotipe dd. Nampak bahwa pada individu
homozigot resesif, lambang untuk fenotipe sama dengan
lambang untuk genotipe. .
Hukum Segregasi
Sebelum melakukan suatu persilangan, setiap individu
menghasilkan gamet-gamet yang kandungan gennya separuh
dari kandungan gen pada individu. Sebagai contoh, individu DD
akan membentuk gamet D, dan individu dd akan membentuk
8
gamet d. Pada individu Dd, yang menghasilkan gamet D dan
gamet d, akan terlihat bahwa gen D dan gen d akan dipisahkan
(disegregasi) ke dalam gamet-gamet yang terbentuk tersebut.
Prinsip inilah yang kemudian dikenal sebagai hukum segregasi
atau hukum Mendel I.
Hukum Segregasi :
Pada waktu berlangsung pembentukan gamet, tiap
pasang gen akan disegregasi ke dalam masing-
masing gamet yang terbentuk.
Hukum Pemilihan Bebas
Persilangan yang hanya menyangkut pola pewarisan satu
macam sifat seperti yang dilakukan oleh Mendel tersebut di atas
dinamakan persilangan monohibrid. Mendel melakukan
persilangan monohibrid untuk enam macam sifat lainnya, yaitu
warna bunga (ungu-putih), warna kotiledon (hijau-kuning),
warna biji (hijau-kuning), bentuk polong (rata-berlekuk),
permukaan biji (halus-keriput), dan letak bunga (aksial-
terminal).
Selain persilangan monohibrid, Mendel juga
melakukan persilangan dihibrid, yaitu persilangan
9
yang melibatkan pola perwarisan dua macam sifat
seketika. Salah satu di antaranya adalah persilangan
galur murni kedelai berbiji kuning-halus dengan
galur murni berbiji hijau-keriput. Hasilnya berupa
tanaman kedelai generasi F1 yang semuanya berbiji
kuning-halus. Ketika tanaman F1 ini dibiarkan
menyerbuk sendiri, maka diperoleh empat macam
individu generasi F2, masing-masing berbiji kuning-
halus, kuning-keriput, hijau-halus, dan hijau-keriput
dengan nisbah 9 : 3 : 3 : 1.
Jika gen yang menyebabkan biji berwarna kuning dan hijau
masing-masing adalah gen G dan g, sedang gen yang
menyebabkan biji halus dan keriput masing-masing adalah gen
W dan gen w, maka persilangan dihibrid terdsebut dapat
digambarkan secara skema seperti pada diagram berikut ini.
P : ♀ Kuning, halus x Hijau, keriput ♂
GGWW ggww
10
Gamet GW gw
F1 : Kuning, halus
GgWw
Menyerbuk sendiri (GgWw x GgWw
)
F2 :
Gamet
♂
Gamet ♀
GW GGWW
GW Gw gW gw
(kuning,
halus)
Gw GGWw
(kuning,
halus)
GGWw
(kuning,h
alus)
GGww
(kuning,k
eriput)
GgWW
(kuning,h
alus)
GgWw
(kuning,h
alus)
GgWw
(kuning,ha
lus)
Ggww
(kuning,ke
riput)
11
gW GgWW
(kuning,
halus)
gw GgWw
(kuning,
halus)
GgWw
(kuning,h
alus)
Ggww
(kuning,k
eriput)
ggWW
(hijau,hal
us)
ggWw
(hijau,hal
us)
ggWw
(hijau,halu
s)
ggww
(hijau,keri
put)
Gambar 2.2. Diagram persilangan dihibrid untuk sifat
warna dan bentuk biji
Dari diagram persilangan dihibrid tersebut di atas dapat
dilihat bahwa fenotipe F2 memiliki nisbah 9 : 3 : 3 : 1 sebagai
akibat terjadinya segregasi gen G dan W secara independen.
Dengan demikian, gamet-gamet yang terbentuk dapat
mengandung kombinasi gen dominan dengan gen dominan
(GW), gen dominan dengan gen resesif (Gw dan gW), serta gen
resesif dengan gen resesif (gw). Hal inilah yang kemudian
dikenal sebagai hukum pemilihan bebas (the law of independent
assortment) atau hukum Mendel II.
Hukum Pemilihan Bebas :
12
Segregasi suatu pasangan gen tidak bergantung
kepada segregasi pasangan gen lainnya, sehingga
di dalam gamet-gamet yang terbentuk akan terjadi
pemilihan kombinasi gen-gen secara bebas.
Diagram kombinasi gamet ♂ dan gamet ♀ dalam
menghasilkan individu generasi F2 seperti pada Gambar 2.2
dinamakan diagram Punnett. Ada cara lain yang dapat digunakan
untuk menentukan kombinasi gamet pada individu generasi F2,
yaitu menggunakan diagram anak garpu (fork line). Cara ini
didasarkan pada perhitungan matematika bahwa persilangan
dihibrid merupakan dua kali persilangan monohibrid. Untuk
contoh persilangan sesama individu GgWw, diagram anak
garpunya adalah sebagai berikut.
Gg x Gg Ww x Ww
13
3 W- 9 G-W- (kuning, halus)
3 G- 1 ww 3 G-ww (kuning, keriput)
3 W- 3 ggW- (hijau, halus)
1 gg 1 ww 1 ggww (hijau, keriput)
Gambar 2.3. Diagram anak garpu pada persilangan dihibrid
Ternyata penentuan nisbah fenotipe F2 menggunakan
diagram anak garpu dapat dilakukan dengan lebih cepat dan
dengan risiko kekeliruan yang lebih kecil daripada penggunaan
diagram Punnett. Kelebihan cara diagram anak garpu ini akan
lebih terasa apabila persilangan yang dilakukan melibatkan lebih
dari dua pasang gen (trihibrid, tetrahibrid,dan seterusnya) atau
pada persilangan-persilangan di antara individu yang
genotipenya tidak sama. Sebagai contoh, hasil persilangan antara
AaBbcc dan aaBbCc akan lebih mudah diketahui nisbah fenotipe
dan genotipenya apabila digunakan cara diagram anak garpu,
yaitu
14
Aa x aa Bb x Bb cc x Cc
1 C- 3 A-B-C-
3 B- 1 cc 3 A-B-cc
1 A- 1 bb 1C- 1 A-bbC-
1 cc 1 A-bbcc
1 C- 3 aaB-C-
3 B- 1 cc 3 aaB-cc
1 aa 1 bb 1 C- 1 aabbC-
1 cc 1 aabbcc
(a)
Aa x aa Bb x Bb cc x Cc
1 Cc 1 AaBBCc
1 BB 1 cc 1 AaBBcc
1 Cc 2 AaBbCc
1 Aa 2 Bb 1 cc 2 AaBbcc
1 Cc 1 AabbCc
1 bb 1 cc 1 Aabbcc
1 BB 1 Cc 1 aaBBCc
1 cc 1 aaBBcc
1 aa 2 Bb 1 Cc 2 aaBbCc
1 cc 2 aaBbcc
1 bb 1 Cc 1 aabbCc
1 cc 1 aabbcc
(b)
Gambar 2.4. Contoh penggunaan diagram anak garpu
(a) Penentuan nisbah fenotipe
(b) Penentuan nisbah genotipe
15
Formulasi matematika pada berbagai jenis persilangan
Individu F1 pada suatu persilangan monohibrid, misalnya Aa,
akan menghasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Gamet-
gamet ini, baik dari individu jantan maupun betina, akan
bergabung menghasilkan empat individu F2 yang dapat
dikelompokkan menjadi dua macam fenotipe (A- dan aa) atau
tiga macam genotipe (AA, Aa, dan aa).
Sementara itu, individu F1 pada persilangan dihibrid,
misalnya AaBb, akan membentuk empat macam gamet, masing-
masing AB,Ab, aB, dan ab. Selanjutnya pada generasi F2 akan
diperoleh 16 individu yang terdiri atas empat macam fenotipe
(A-B-, A-bb, aaB-, dan aabb) atau sembilan macam genotipe
(AABB, AABb, Aabb, AaBB, AaBb, Aabb, aaBB, aaBb, dan
aabb).
Dari angka-angka tersebut akan terlihat adanya hubungan
matematika antara jenis persilangan (banyaknya pasangan gen),
macam gamet F1, jumlah individu F2, serta macam fenotipe dan
genotipe F2. Hubungan matematika akan diperoleh pula pada
persilangan-persilangan yang melibatkan pasangan gen yang
lebih banyak (trihibrid, tetrahibrid, dan seterusnya), sehingga
secara ringkas dapat ditentukn formulasi matematika seperti
pada tabel 2.1 berikut ini.
16
Tabel 2.1. Formulasi matematika pada berbagai
persilangan
Persilan
gan
Mac
am
gam
indivi
et F1
2 4 2 3 3 : 1
Juml
ah
du F2
Maca
m
fenoti
pe F2
Maca
m
genot
ipe F2
Nisbah fenotipe
F2
monohib
rid
dihibrid 4 16 4 9 9 : 3 : 3 : 1
trihibrid 8 64 8 27 27 : 9 : 9 : 9 : 3 :
3 : 3 : 1
n hibrid 2n 4n 2n 3n ( 3 : 1 )n
Pada kolom terakhir dapat dilihat adanya formulasi untuk
nisbah fenotipe F2. Kalau angka-angka pada nisbah 3 : 1
dijumlahkan lalu dikuadratkan, maka akan didapatkan ( 3 + 1 )2
= 32 + 2.3.1 + 12 = 9 + 3 + 3 + 1, yang tidak lain merupakan
angka-angka pada nisbah hasil persilangan dihibrid. Demikian
pula jika dilakukan pemangkattigaan, maka akan diperoleh ( 3 +
1 )3 = 33 + 3.32.11 + 3.31.12+ 13 = 27 + 9 + 9 + 9 + 3 + 3 + 3 + 1,
yang merupakan angka-angka pada nisbah hasil persilangan
trihibrid.
17
Silang balik (back cross) dan silang uji (test cross)
Silang balik ialah persilangan suatu individu dengan salah
satu tetuanya. Sebagai contoh, individu Aa hasil persilangan
antara AA dan aa dapat disilangbalikkan, baik dengan AA
maupun aa. Silang balik antara Aa dan AA akan menghasilkan
satu macam fenotipe, yaitu A-, atau dua macam genotipe, yaitu
AA dan Aa dengan nisbah 1 : 1. Sementara itu, silang balik
antara Aa dan aa akan menghasilkan dua macam fenotipe, yaitu
A- dan aa dengan nisbah 1 : 1, atau dua macam genotipe, yaitu
Aa dan aa dengan nisbah 1 : 1.
Manfaat praktis silang balik adalah untuk memasukkan gen
tertentu yang diinginkan ke dalam suatu individu. Melalui silang
balik yang dilakukan berulang-ulang, dapat dimungkinkan
terjadinya pemisahan gen-gen tertentu yang terletak pada satu
kromosom sebagai akibat berlangsungnya peristiwa pindah
silang (lihat juga Bab V). Hal ini banyak diterapkan di bidang
pertanian, misalnya untuk memisahkan gen yang mengatur daya
simpan beras dan gen yang menyebabkan rasa nasi kurang enak.
Dengan memisahkan dua gen yang terletak pada satu kromosom
ini, dapat diperoleh varietas padi yang berasnya tahan simpan
dan rasa nasinya enak.
18
Apabila suatu silang balik dilakukan dengan tetuanya yang
homozigot resesif, maka silang balik semacam ini disebut juga
silang uji. Akan tetapi, silang uji sebenarnya tidak harus terjadi
antara suatu individu dan tetuanya yang homozigot resesif. Pada
prinsipnya semua persilangan yang melibatkan individu
homozigot resesif (baik tetua maupun bukan tetua) dinamakan
silang uji.
Istilah silang uji digunakan untuk menunjukkan bahwa
persilangan semacam ini dapat menentukan genotipe suatu
individu. Sebagai contoh, suatu tanaman yang fenotipenya
tinggi (D-) dapat ditentukan genotipenya (DD atau Dd) melalui
silang uji dengan tanaman homozigot resesif (dd).
Kemungkinan hasilnya dapat dilihat pada diagram berikut ini.
DD x dd Dd x dd
Dd (tinggi) 1 Dd (tinggi)
1 dd (pendek)
Gambar 2.5. Contoh diagram
silang uji
Jadi, apabila tanaman tinggi yang disilang uji adalah homozigot
(DD), maka hasilnya berupa satu macam fenotipe, yaitu tanaman
19
tinggi. Sebaliknya, jika tanaman tersebut heterozigot (Dd), maka
hasilnya ada dua macam fenotipe, yaitu tanaman tinggi dan
pendek dengan nisbah 1 : 1.
Modifikasi Nisbah Mendel
Percobaan-percobaan persilangan sering kali memberikan
hasil yang seakan-akan menyimpang dari hukum Mendel. Dalam
hal ini tampak bahwa nisbah fenotipe yang diperoleh mengalami
modifikasi dari nisbah yang seharusnya sebagai akibat terjadinya
aksi gen tertentu. Secara garis besar modifikasi nisbah Mendel
dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu modifikasi nisbah
3 : 1 dan modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1.
Modifikasi Nisbah 3 : 1
Ada tiga peristiwa yang menyebabkan terjadinya
modifikasi nisbah 3 : 1, yaitu semi dominansi,
kodominansi, dan gen letal.
Semi dominansi
Peristiwa semi dominansi terjadi apabila suatu gen dominan
tidak menutupi pengaruh alel resesifnya dengan sempurna,
sehingga pada individu heterozigot akan muncul sifat antara
(intermedier). Dengan demikian, individu heterozigot akan
20
memiliki fenotipe yang berbeda dengan fenotipe individu
homozigot dominan. Akibatnya, pada generasi F2 tidak
didapatkan nisbah fenotipe 3 : 1, tetapi menjadi 1 : 2 : 1 seperti
halnya nisbah genotipe.
Contoh peristiwa semi dominansi dapat dilihat pada
pewarisan warna bunga pada tanaman bunga pukul empat
(Mirabilis jalapa). Gen yang mengatur warna bunga pada
tanaman ini adalah M, yang menyebabkan bunga berwarna
merah, dan gen m, yang menyebabkan bunga berwarna putih.
Gen M tidak dominan sempurna terhadap gen m, sehingga warna
bunga pada individu Mm bukannya merah, melainkan merah
muda. Oleh karena itu, hasil persilangan sesama genotipe Mm
akan menghasilkan generasi F2 dengan nisbah fenotipe merah :
merah muda : putih = 1 : 2 : 1.
Kodominansi
Seperti halnya semi dominansi, peristiwa kodominansi akan
menghasilkan nisbah fenotipe 1 : 2 : 1 pada generasi F2.
Bedanya, kodominansi tidak memunculkan sifat antara pada
individu heterozigot, tetapi menghasilkan sifat yang merupakan
hasil ekspresi masing-masing alel. Dengan perkataan lain, kedua
alel akan sama-sama diekspresikan dan tidak saling menutupi.
21
Peristiwa kodominansi dapat dilihat misalnya pada
pewarisan golongan darah sistem ABO pada manusia (lihat juga
bagian pada bab ini tentang beberapa contoh alel ganda). Gen IA
dan IB masing-masing menyebabkan terbentuknya antigen A dan
antigen B di dalam eritrosit individu yang memilikinya. Pada
individu dengan golongan darah AB (bergenotipe IAIB) akan
terdapat baik antigen A maupun antigen B di dalam eritrositnya.
Artinya, gen IA dan IB sama-sama diekspresikan pada individu
heterozigot tersebut.
Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masing-
masing memiliki golongan darah AB dapat digambarkan seperti
pada diagram berikut ini.
IAIB x IAIB
1 IAIA (golongan darah A)
2 IAIB (golongan darah AB)
1 IBIB (golongan darah B)
Golongan darah A : AB : B = 1 : 2 : 1
Gambar 2.6. Diagram persilangan sesama individu bergolongan
darah AB
22
Gen letal
Gen letal ialah gen yang dapat mengakibatkan kematian pada
individu homozigot. Kematian ini dapat terjadi pada masa
embrio atau beberapa saat setelah kelahiran. Akan tetapi,
adakalanya pula terdapat sifat subletal, yang menyebabkan
kematian pada waktu individu yang bersangkutan menjelang
dewasa.
Ada dua macam gen letal, yaitu gen letal dominan dan gen
letal resesif. Gen letal dominan dalam keadaan heterozigot dapat
menimbulkan efek subletal atau kelainan fenotipe, sedang gen
letal resesif cenderung menghasilkan fenotipe normal pada
individu heterozigot.
Peristiwa letal dominan antara lain dapat dilihat pada ayam
redep (creeper), yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang pendek
serta mempunyai genotipe heterozigot (Cpcp). Ayam dengan
genotipe CpCp mengalami kematian pada masa embrio. Apabila
sesama ayam redep dikawinkan, akan diperoleh keturunan
dengan nisbah fenotipe ayam redep (Cpcp) : ayam normal (cpcp)
= 2 : 1. Hal ini karena ayam dengan genotipe CpCp tidak
pernah ada.
Sementara itu, gen letal resesif misalnya adalah gen
penyebab albino pada tanaman jagung. Tanaman jagung dengan
23
genotipe gg akan mengalami kematian setelah cadangan
makanan di dalam biji habis, karena tanaman ini tidak mampu
melakukan fotosintesis sehubungan dengan tidak adanya
khlorofil. Tanaman Gg memiliki warna hijau kekuningan,
sedang tanaman GG adalah hijau normal. Persilangan antara
sesama tanaman Gg akan menghasilkan keturunan dengan
nisbah fenotipe normal (GG) : kekuningan (Gg) = 1 : 2.
Modifikasi Nisbah 9 : 3 : 3 : 1
Modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1 disebabkan oleh peristiwa
yang dinamakan epistasis, yaitu penutupan ekspresi suatu gen
nonalelik. Jadi, dalam hal ini suatu gen bersifat dominan
terhadap gen lain yang bukan alelnya. Ada beberapa macam
epistasis, masing-masing menghasilkan nisbah fenotipe yang
berbeda pada generasi F2.
Epistasis resesif
Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif
menutupi ekspresi gen lain yang bukan alelnya. Akibat
peristiwa ini, pada generasi F2 akan diperoleh nisbah fenotipe 9 :
3 : 4.
Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada pewarisan warna
bulu mencit (Mus musculus). Ada dua pasang gen nonalelik
24
yang mengatur warna bulu pada mencit, yaitu gen A
menyebabkan bulu berwarna kelabu, gen a menyebabkan bulu
berwarna hitam, gen C menyebabkan pigmentasi normal, dan
gen c menyebabkan tidak ada pigmentasi. Persilangan antara
mencit berbulu kelabu (AACC) dan albino (aacc) dapat
digambarkan seperti pada diagram berikut ini.
P : AACC x aacc
kelabu albino
F1 : AaCc
kelabu
F2 : 9 A-C- kelabu
3 A-cc albino kelabu : hitam : albino
=
3 aaC- hitam 9 : 3 : 4
1 aacc albino
Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis
resesif
Epistasis dominan
25
Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi
gen oleh suatu gen dominan yang bukan alelnya. Nisbah fenotipe
pada generasi F2 dengan adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 :
1.
Peristiwa epistasis dominan dapat dilihat misalnya pada
pewarisan warna buah waluh besar (Cucurbita pepo). Dalam hal
ini terdapat gen Y yang menyebabkan buah berwarna kuning dan
alelnya y yang menyebabkan buah berwarna hijau. Selain itu,
ada gen W yang menghalangi pigmentasi dan w yang tidak
menghalangi pigmentasi. Persilangan antara waluh putih
(WWYY) dan waluh hijau (wwyy) menghasilkan nisbah
fenotipe generasi F2 sebagai berikut.
P : WWYY x wwyy
putih hijau
F1 : WwYy
putih
F2 : 9 W-Y- putih
3 W-yy putih putih : kuning : hijau =
3 wwY- kuning 12 : 3 : 1
1 wwyy hijau
Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis dominan
Epistasis resesif ganda
26
Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen
I, epistatis terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang
bukan alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini
juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang
terjadi dinamakan epistasis resesif ganda. Epistasis ini
menghasilkan nisbah fenotipe 9 : 7 pada generasi F2.
Sebagai contoh peristiwa epistasis resesif ganda dapat
dikemukakan pewarisan kandungan HCN pada tanaman
Trifolium repens. Terbentuknya HCN pada tanaman ini dapat
dilukiskan secara skema sebagai berikut.
gen L gen H
Bahan dasar enzim L glukosida sianogenik enzim H HCN
Gen L menyebabkan terbentuknya enzim L yang mengatalisis
perubahan bahan dasar menjadi bahan antara berupa glukosida
sianogenik. Alelnya, l, menghalangi pembentukan enzim L. Gen
H menyebabkan terbentuknya enzim H yang mengatalisis
perubahan glukosida sianogenik menjadi HCN, sedangkan gen h
menghalangi pembentukan enzim H. Dengan demikian, l
epistatis terhadap H dan h, sementara h epistatis terhadap L dan
l. Persilangan dua tanaman dengan kandungan HCN sama-sama
rendah tetapi genotipenya berbeda (LLhh dengan llHH) dapat
digambarkan sebagai berikut.
27
P : LLhh x llHH
HCN rendah HCN rendah
F1 : LlHh
HCN tinggi
F2 : 9 L-H- HCN tinggi
3 L-hh HCN rendah HCN tinggi : HCN rendah =
3 llH- HCN rendah 9 : 7
1 llhh HCN rendah
Gambar 2.8. Diagram persilangan epistasis resesif ganda
Epistasis dominan ganda
Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap
pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen dominan
dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I,
maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis dominan ganda.
Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 15 : 1 pada generasi
F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat pada
pewarisan bentuk buah Capsella. Ada dua macam bentuk buah
Capsella, yaitu segitiga dan oval. Bentuk segitiga disebabkan
oleh gen dominan C dan D, sedang bentuk oval disebabkan oleh
gen resesif c dan d. Dalam hal ini C dominan terhadap D dan d,
sedangkan D dominan terhadap C dan c.
P : CCDD x ccdd
segitiga oval
28
F1 : CcDd
segitiga
F2 : 9 C-D- segitiga
3 C-dd segitiga segitiga : oval = 15 : 1
3 ccD- segitiga
1 ccdd oval
Gambar 2.9. Diagram persilangan epistasis dominan ganda
Epistasis domian-resesif
Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan dari
pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan
alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga
epistatis terhadap pasangan gen I. Epistasis ini menghasilkan
nisbah fenotipe 13 : 3 pada generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan-resesif dapat dilihat pada
pewarisan warna bulu ayam ras. Dalam hal ini terdapat pasangan
gen I, yang menghalangi pigmentasi, dan alelnya, i, yang tidak
menghalangi pigmentasi. Selain itu, terdapat gen C, yang
menimbulkan pigmentasi, dan alelnya, c, yang tidak
menimbulkan pigmentasi. Gen I dominan terhadap C dan c,
sedangkan gen c dominan terhadap I dan i.
P : IICC x iicc
putih putih
F1 : IiCc
putih
29
F2 : 9 I-C- putih
3 I-cc putih putih : berwarna = 13 : 3
3 iiC- berwarna
1 iicc putih
Gambar 2.10. Diagram persilangan epistasis dominan-resesif
Epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif
Pada Cucurbita pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu
cakram, bulat, dan lonjong. Gen yang mengatur pemunculan
fenotipe tersebut ada dua pasang, masing-masing B dan b serta L
dan l. Apabila pada suatu individu terdapat sebuah atau dua
buah gen dominan dari salah satu pasangan gen tersebut, maka
fenotipe yang muncul adalah bentuk buah bulat (B-ll atau bbL-).
Sementara itu, apabila sebuah atau dua buah gen dominan dari
kedua pasangan gen tersebut berada pada suatu individu, maka
fenotipe yang dihasilkan adalah bentuk buah cakram (B-L-).
Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan berupa buah
berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan
epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif.
P : BBLL x bbll
cakram lonjong
F1 : BbLl
cakram
30
F2 : 9 B-L- cakram
3 B-ll bulat cakram : bulat : lonjong = 9 : 6 : 1
3 bbL- bulat
1 bbll lonjong
Gambar 2.11. Diagram persilangan epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif
Interaksi Gen
Selain mengalami berbagai modifikasi nisbah fenotipe
karena adanya peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula
penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak
melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan
fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi
dua pasang gen nonalelik. Peristiwa semacam ini dinamakan
interaksi gen.
Peristiwa interaksi gen pertama kali dilaporkan oleh W.
Bateson dan R.C. Punnet setelah mereka mengamati pola
pewarisan bentuk jengger ayam. Dalam hal ini terdapat empat
macam bentuk jengger ayam, yaitu mawar, kacang, walnut, dan
tunggal, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12. Bentuk jengger ayam dari galur yang berbeda
Persilangan ayam berjengger mawar dengan ayam
berjengger kacang menghasilkan keturunan dengan bentuk
walnut tungal kacang
mawar
31
jengger yang sama sekali berbeda dengan bentuk jengger kedua
tetuanya. Ayam hibrid (hasil persilangan) ini memiliki jengger
berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila ayam berjengger walnut
disilangkan dengan sesamanya, maka diperoleh generasi F2
dengan nisbah fenotipe walnut : mawar : kacang : tunggal = 9 : 3
: 3 : 1.
Dari nisbah fenotipe tersebut, terlihat adanya satu kelas
fenotipe yang sebelumnya tidak pernah dijumpai, yaitu bentuk
jengger tunggal. Munculnya fenotipe ini, dan juga fenotipe
walnut, mengindikasikan adanya keterlibatan dua pasang gen
nonalelik yang berinteraksi untuk menghasilkan suatu fenotipe.
DASAR-DASAR
PEWARISAN MENDEL
Hukum Segregasi
Hukum Pemilihan Bebas
Formulasi Matematika
Silang Balik dan Silang Uji
Modifikasi Nisbah Mendel
Teori Peluang
Uji X2
Alel Ganda
2
BAB II. DASAR-DASAR PEWARISAN MENDEL
Seorang biarawan dari Austria, bernama Gregor Johann
Mendel, menjelang akhir abad ke-19 melakukan
serangkaian percobaan persilangan pada kacang ercis
(Pisum sativum). Dari percobaan yang dilakukannya selama
bertahun-tahun tersebut, Mendel berhasil menemukan
prinsip-prinsip pewarisan sifat, yang kemudian menjadi
landasan utama bagi perkembangan genetika sebagai suatu
cabang ilmu pengetahuan. Berkat karyanya inilah, Mendel
diakui sebagai Bapak Genetika.
Mendel memilih kacang ercis sebagai bahan
percobaannya, terutama karena tanaman ini memiliki
beberapa pasang sifat yang sangat mencolok perbedaannya,
misalnya warna bunganya mudah sekali untuk dibedakan
antara yang ungu dan yang putih. Selain itu, kacang ercis
merupakan tanaman yang dapat menyerbuk sendiri, dan
dengan bantuan manusia, dapat juga menyerbuk silang. Hal
ini disebabkan oleh adanya bunga sempurna, yaitu bunga
yang mempunyai alat kelamin jantan dan betina.
Pertimbangan lainnya adalah bahwa kacang ercis memiliki
3
daur hidup yang relatif pendek, serta mudah untuk
ditumbuhkan dan dipelihara. Mendel juga beruntung,
karena secara kebetulan kacang ercis yang digunakannya
merupakan tanaman diploid (mempunyai dua perangkat
kromosom). Seandainya ia menggunakan organisme
poliploid, maka ia tidak akan memperoleh hasil persilangan
yang sederhana dan mudah untuk dianalisis.
Pada salah satu percobaannya Mendel menyilangkan
tanaman kacang ercis yang tinggi dengan yang pendek. Tanaman
yang dipilih adalah tanaman galur murni, yaitu tanaman yang
kalau menyerbuk sendiri tidak akan menghasilkan tanaman yang
berbeda dengannya. Dalam hal ini tanaman tinggi akan tetap
menghasilkan tanaman tinggi. Begitu juga tanaman pendek akan
selalu menghasilkan tanaman pendek.
Dengan menyilangkan galur murni tinggi dengan galur
murni pendek, Mendel mendapatkan tanaman yang semuanya
tinggi. Selanjutnya, tanaman tinggi hasil persilangan ini
dibiarkan menyerbuk sendiri. Ternyata keturunannya
memperlihatkan nisbah (perbandingan) tanaman tinggi terhadap
tanaman pendek sebesar 3 : 1. Secara skema, percobaan Mendel
dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut.
4
P : ♀ Tinggi x Pendek ♂
DD dd
Gamet D d
F1 : Tinggi
Dd
Menyerbuk sendiri (Dd x Dd)
F2 :
Gamet
Gamet
D DD
D d
d Dd
(tinggi)
(tinggi)
Dd
(tinggi)
dd
(pendek
)
Tinggi (D-) : pendek (dd) = 3 : 1
DD : Dd : dd = 1 : 2 : 1
5
Gambar 2.1. Diagram persilangan monohibrid untuk
sifat tinggi tanaman
Individu tinggi dan pendek yang digunakan pada awal
persilangan dikatakan sebagai tetua (parental), disingkat P.
Hasil persilangannya merupakan keturunan (filial) generasi
pertama, disingkat F1. Persilangan sesama individu F1
menghasilkan keturunan generasi ke dua, disingkat F2. Tanaman
tinggi pada generasi P dilambangkan dengan DD, sedang
tanaman pendek dd. Sementara itu, tanaman tinggi yang
diperoleh pada generasi F1 dilambangkan dengan Dd.
Pada diagram persilangan monohibrid tersebut di atas,
nampak bahwa untuk menghasilkan individu Dd pada F1, maka
baik DD maupun dd pada generasi P membentuk gamet (sel
kelamin). Individu DD membentuk gamet D, sedang individu dd
membentuk gamet d. Dengan demikian, individu Dd pada F1
merupakan hasil penggabungan kedua gamet tersebut. Begitu
pula halnya, ketika sesama individu Dd ini melakukan
penyerbukan sendiri untuk menghasilkan F2, maka masing-
masing akan membentuk gamet terlebih dahulu. Gamet yang
dihasilkan oleh individu Dd ada dua macam, yaitu D dan d.
Selanjutnya, dari kombinasi gamet-gamet tersebut diperoleh
6
individu-individu generasi F2 dengan nisbah DD : Dd : dd = 1 : 2
: 1. Jika DD dan dd dikelompokkan menjadi satu (karena sama-
sama melambangkan individu tinggi), maka nisbah tersebut
menjadi D : dd = 3 : 1.
Dari diagram itu pula dapat dilihat bahwa pewarisan suatu
sifat ditentukan oleh pewarisan materi tertentu, yang dalam
contoh tersebut dilambangkan dengan D atau d. Mendel
menyebut materi yang diwariskan ini sebagai faktor keturunan
(herediter), yang pada perkembangan berikutnya hingga
sekarang dinamakan gen.
Terminologi
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui untuk menjelaskan
prinsip-prinsip pewarisan sifat. Seperti telah disebutkan di atas,
P adalah individu tetua, F1 adalah keturunan generasi pertama,
dan F2 adalah keturunan generasi ke dua. Selanjutnya, gen D
dikatakan sebagai gen atau alel dominan, sedang gen d
merupakan gen atau alel resesif. Alel adalah bentuk alternatif
suatu gen yang terdapat pada lokus (tempat) tertentu. Gen D
dikatakan dominan terhadap gen d, karena ekpresi gen D akan
menutupi ekspresi gen d jika keduanya terdapat bersama-sama
dalam satu individu (Dd). Dengan demikian, gen dominan
7
adalah gen yang ekspresinya menutupi ekspresi alelnya.
Sebaliknya, gen resesif adalah gen yang ekspresinya ditutupi
oleh ekspresi alelnya.
Individu Dd dinamakan individu heterozigot, sedang
individu DD dan dd masing-masing disebut sebagai individu
homozigot dominan dan homozigot resesif. Sifat-sifat yang
dapat langsung diamati pada individu-individu tersebut, yakni
tinggi atau pendek, dinamakan fenotipe. Jadi, fenotipe adalah
ekspresi gen yang langsung dapat diamati sebagai suatu sifat
pada suatu individu. Sementara itu, susunan genetik yang
mendasari pemunculan suatu sifat dinamakan genotipe. Pada
contoh tersebut di atas, fenotipe tinggi (D) dapat dihasilkan dari
genotipe DD atau Dd, sedang fenotipe pendek (dd) hanya
dihasilkan dari genotipe dd. Nampak bahwa pada individu
homozigot resesif, lambang untuk fenotipe sama dengan
lambang untuk genotipe. .
Hukum Segregasi
Sebelum melakukan suatu persilangan, setiap individu
menghasilkan gamet-gamet yang kandungan gennya separuh
dari kandungan gen pada individu. Sebagai contoh, individu DD
akan membentuk gamet D, dan individu dd akan membentuk
8
gamet d. Pada individu Dd, yang menghasilkan gamet D dan
gamet d, akan terlihat bahwa gen D dan gen d akan dipisahkan
(disegregasi) ke dalam gamet-gamet yang terbentuk tersebut.
Prinsip inilah yang kemudian dikenal sebagai hukum segregasi
atau hukum Mendel I.
Hukum Segregasi :
Pada waktu berlangsung pembentukan gamet, tiap
pasang gen akan disegregasi ke dalam masing-
masing gamet yang terbentuk.
Hukum Pemilihan Bebas
Persilangan yang hanya menyangkut pola pewarisan satu
macam sifat seperti yang dilakukan oleh Mendel tersebut di atas
dinamakan persilangan monohibrid. Mendel melakukan
persilangan monohibrid untuk enam macam sifat lainnya, yaitu
warna bunga (ungu-putih), warna kotiledon (hijau-kuning),
warna biji (hijau-kuning), bentuk polong (rata-berlekuk),
permukaan biji (halus-keriput), dan letak bunga (aksial-
terminal).
Selain persilangan monohibrid, Mendel juga
melakukan persilangan dihibrid, yaitu persilangan
9
yang melibatkan pola perwarisan dua macam sifat
seketika. Salah satu di antaranya adalah persilangan
galur murni kedelai berbiji kuning-halus dengan
galur murni berbiji hijau-keriput. Hasilnya berupa
tanaman kedelai generasi F1 yang semuanya berbiji
kuning-halus. Ketika tanaman F1 ini dibiarkan
menyerbuk sendiri, maka diperoleh empat macam
individu generasi F2, masing-masing berbiji kuning-
halus, kuning-keriput, hijau-halus, dan hijau-keriput
dengan nisbah 9 : 3 : 3 : 1.
Jika gen yang menyebabkan biji berwarna kuning dan hijau
masing-masing adalah gen G dan g, sedang gen yang
menyebabkan biji halus dan keriput masing-masing adalah gen
W dan gen w, maka persilangan dihibrid terdsebut dapat
digambarkan secara skema seperti pada diagram berikut ini.
P : ♀ Kuning, halus x Hijau, keriput ♂
GGWW ggww
10
Gamet GW gw
F1 : Kuning, halus
GgWw
Menyerbuk sendiri (GgWw x GgWw
)
F2 :
Gamet
♂
Gamet ♀
GW GGWW
GW Gw gW gw
(kuning,
halus)
Gw GGWw
(kuning,
halus)
GGWw
(kuning,h
alus)
GGww
(kuning,k
eriput)
GgWW
(kuning,h
alus)
GgWw
(kuning,h
alus)
GgWw
(kuning,ha
lus)
Ggww
(kuning,ke
riput)
11
gW GgWW
(kuning,
halus)
gw GgWw
(kuning,
halus)
GgWw
(kuning,h
alus)
Ggww
(kuning,k
eriput)
ggWW
(hijau,hal
us)
ggWw
(hijau,hal
us)
ggWw
(hijau,halu
s)
ggww
(hijau,keri
put)
Gambar 2.2. Diagram persilangan dihibrid untuk sifat
warna dan bentuk biji
Dari diagram persilangan dihibrid tersebut di atas dapat
dilihat bahwa fenotipe F2 memiliki nisbah 9 : 3 : 3 : 1 sebagai
akibat terjadinya segregasi gen G dan W secara independen.
Dengan demikian, gamet-gamet yang terbentuk dapat
mengandung kombinasi gen dominan dengan gen dominan
(GW), gen dominan dengan gen resesif (Gw dan gW), serta gen
resesif dengan gen resesif (gw). Hal inilah yang kemudian
dikenal sebagai hukum pemilihan bebas (the law of independent
assortment) atau hukum Mendel II.
Hukum Pemilihan Bebas :
12
Segregasi suatu pasangan gen tidak bergantung
kepada segregasi pasangan gen lainnya, sehingga
di dalam gamet-gamet yang terbentuk akan terjadi
pemilihan kombinasi gen-gen secara bebas.
Diagram kombinasi gamet ♂ dan gamet ♀ dalam
menghasilkan individu generasi F2 seperti pada Gambar 2.2
dinamakan diagram Punnett. Ada cara lain yang dapat digunakan
untuk menentukan kombinasi gamet pada individu generasi F2,
yaitu menggunakan diagram anak garpu (fork line). Cara ini
didasarkan pada perhitungan matematika bahwa persilangan
dihibrid merupakan dua kali persilangan monohibrid. Untuk
contoh persilangan sesama individu GgWw, diagram anak
garpunya adalah sebagai berikut.
Gg x Gg Ww x Ww
13
3 W- 9 G-W- (kuning, halus)
3 G- 1 ww 3 G-ww (kuning, keriput)
3 W- 3 ggW- (hijau, halus)
1 gg 1 ww 1 ggww (hijau, keriput)
Gambar 2.3. Diagram anak garpu pada persilangan dihibrid
Ternyata penentuan nisbah fenotipe F2 menggunakan
diagram anak garpu dapat dilakukan dengan lebih cepat dan
dengan risiko kekeliruan yang lebih kecil daripada penggunaan
diagram Punnett. Kelebihan cara diagram anak garpu ini akan
lebih terasa apabila persilangan yang dilakukan melibatkan lebih
dari dua pasang gen (trihibrid, tetrahibrid,dan seterusnya) atau
pada persilangan-persilangan di antara individu yang
genotipenya tidak sama. Sebagai contoh, hasil persilangan antara
AaBbcc dan aaBbCc akan lebih mudah diketahui nisbah fenotipe
dan genotipenya apabila digunakan cara diagram anak garpu,
yaitu
14
Aa x aa Bb x Bb cc x Cc
1 C- 3 A-B-C-
3 B- 1 cc 3 A-B-cc
1 A- 1 bb 1C- 1 A-bbC-
1 cc 1 A-bbcc
1 C- 3 aaB-C-
3 B- 1 cc 3 aaB-cc
1 aa 1 bb 1 C- 1 aabbC-
1 cc 1 aabbcc
(a)
Aa x aa Bb x Bb cc x Cc
1 Cc 1 AaBBCc
1 BB 1 cc 1 AaBBcc
1 Cc 2 AaBbCc
1 Aa 2 Bb 1 cc 2 AaBbcc
1 Cc 1 AabbCc
1 bb 1 cc 1 Aabbcc
1 BB 1 Cc 1 aaBBCc
1 cc 1 aaBBcc
1 aa 2 Bb 1 Cc 2 aaBbCc
1 cc 2 aaBbcc
1 bb 1 Cc 1 aabbCc
1 cc 1 aabbcc
(b)
Gambar 2.4. Contoh penggunaan diagram anak garpu
(a) Penentuan nisbah fenotipe
(b) Penentuan nisbah genotipe
15
Formulasi matematika pada berbagai jenis persilangan
Individu F1 pada suatu persilangan monohibrid, misalnya Aa,
akan menghasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Gamet-
gamet ini, baik dari individu jantan maupun betina, akan
bergabung menghasilkan empat individu F2 yang dapat
dikelompokkan menjadi dua macam fenotipe (A- dan aa) atau
tiga macam genotipe (AA, Aa, dan aa).
Sementara itu, individu F1 pada persilangan dihibrid,
misalnya AaBb, akan membentuk empat macam gamet, masing-
masing AB,Ab, aB, dan ab. Selanjutnya pada generasi F2 akan
diperoleh 16 individu yang terdiri atas empat macam fenotipe
(A-B-, A-bb, aaB-, dan aabb) atau sembilan macam genotipe
(AABB, AABb, Aabb, AaBB, AaBb, Aabb, aaBB, aaBb, dan
aabb).
Dari angka-angka tersebut akan terlihat adanya hubungan
matematika antara jenis persilangan (banyaknya pasangan gen),
macam gamet F1, jumlah individu F2, serta macam fenotipe dan
genotipe F2. Hubungan matematika akan diperoleh pula pada
persilangan-persilangan yang melibatkan pasangan gen yang
lebih banyak (trihibrid, tetrahibrid, dan seterusnya), sehingga
secara ringkas dapat ditentukn formulasi matematika seperti
pada tabel 2.1 berikut ini.
16
Tabel 2.1. Formulasi matematika pada berbagai
persilangan
Persilan
gan
Mac
am
gam
indivi
et F1
2 4 2 3 3 : 1
Juml
ah
du F2
Maca
m
fenoti
pe F2
Maca
m
genot
ipe F2
Nisbah fenotipe
F2
monohib
rid
dihibrid 4 16 4 9 9 : 3 : 3 : 1
trihibrid 8 64 8 27 27 : 9 : 9 : 9 : 3 :
3 : 3 : 1
n hibrid 2n 4n 2n 3n ( 3 : 1 )n
Pada kolom terakhir dapat dilihat adanya formulasi untuk
nisbah fenotipe F2. Kalau angka-angka pada nisbah 3 : 1
dijumlahkan lalu dikuadratkan, maka akan didapatkan ( 3 + 1 )2
= 32 + 2.3.1 + 12 = 9 + 3 + 3 + 1, yang tidak lain merupakan
angka-angka pada nisbah hasil persilangan dihibrid. Demikian
pula jika dilakukan pemangkattigaan, maka akan diperoleh ( 3 +
1 )3 = 33 + 3.32.11 + 3.31.12+ 13 = 27 + 9 + 9 + 9 + 3 + 3 + 3 + 1,
yang merupakan angka-angka pada nisbah hasil persilangan
trihibrid.
17
Silang balik (back cross) dan silang uji (test cross)
Silang balik ialah persilangan suatu individu dengan salah
satu tetuanya. Sebagai contoh, individu Aa hasil persilangan
antara AA dan aa dapat disilangbalikkan, baik dengan AA
maupun aa. Silang balik antara Aa dan AA akan menghasilkan
satu macam fenotipe, yaitu A-, atau dua macam genotipe, yaitu
AA dan Aa dengan nisbah 1 : 1. Sementara itu, silang balik
antara Aa dan aa akan menghasilkan dua macam fenotipe, yaitu
A- dan aa dengan nisbah 1 : 1, atau dua macam genotipe, yaitu
Aa dan aa dengan nisbah 1 : 1.
Manfaat praktis silang balik adalah untuk memasukkan gen
tertentu yang diinginkan ke dalam suatu individu. Melalui silang
balik yang dilakukan berulang-ulang, dapat dimungkinkan
terjadinya pemisahan gen-gen tertentu yang terletak pada satu
kromosom sebagai akibat berlangsungnya peristiwa pindah
silang (lihat juga Bab V). Hal ini banyak diterapkan di bidang
pertanian, misalnya untuk memisahkan gen yang mengatur daya
simpan beras dan gen yang menyebabkan rasa nasi kurang enak.
Dengan memisahkan dua gen yang terletak pada satu kromosom
ini, dapat diperoleh varietas padi yang berasnya tahan simpan
dan rasa nasinya enak.
18
Apabila suatu silang balik dilakukan dengan tetuanya yang
homozigot resesif, maka silang balik semacam ini disebut juga
silang uji. Akan tetapi, silang uji sebenarnya tidak harus terjadi
antara suatu individu dan tetuanya yang homozigot resesif. Pada
prinsipnya semua persilangan yang melibatkan individu
homozigot resesif (baik tetua maupun bukan tetua) dinamakan
silang uji.
Istilah silang uji digunakan untuk menunjukkan bahwa
persilangan semacam ini dapat menentukan genotipe suatu
individu. Sebagai contoh, suatu tanaman yang fenotipenya
tinggi (D-) dapat ditentukan genotipenya (DD atau Dd) melalui
silang uji dengan tanaman homozigot resesif (dd).
Kemungkinan hasilnya dapat dilihat pada diagram berikut ini.
DD x dd Dd x dd
Dd (tinggi) 1 Dd (tinggi)
1 dd (pendek)
Gambar 2.5. Contoh diagram
silang uji
Jadi, apabila tanaman tinggi yang disilang uji adalah homozigot
(DD), maka hasilnya berupa satu macam fenotipe, yaitu tanaman
19
tinggi. Sebaliknya, jika tanaman tersebut heterozigot (Dd), maka
hasilnya ada dua macam fenotipe, yaitu tanaman tinggi dan
pendek dengan nisbah 1 : 1.
Modifikasi Nisbah Mendel
Percobaan-percobaan persilangan sering kali memberikan
hasil yang seakan-akan menyimpang dari hukum Mendel. Dalam
hal ini tampak bahwa nisbah fenotipe yang diperoleh mengalami
modifikasi dari nisbah yang seharusnya sebagai akibat terjadinya
aksi gen tertentu. Secara garis besar modifikasi nisbah Mendel
dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu modifikasi nisbah
3 : 1 dan modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1.
Modifikasi Nisbah 3 : 1
Ada tiga peristiwa yang menyebabkan terjadinya
modifikasi nisbah 3 : 1, yaitu semi dominansi,
kodominansi, dan gen letal.
Semi dominansi
Peristiwa semi dominansi terjadi apabila suatu gen dominan
tidak menutupi pengaruh alel resesifnya dengan sempurna,
sehingga pada individu heterozigot akan muncul sifat antara
(intermedier). Dengan demikian, individu heterozigot akan
20
memiliki fenotipe yang berbeda dengan fenotipe individu
homozigot dominan. Akibatnya, pada generasi F2 tidak
didapatkan nisbah fenotipe 3 : 1, tetapi menjadi 1 : 2 : 1 seperti
halnya nisbah genotipe.
Contoh peristiwa semi dominansi dapat dilihat pada
pewarisan warna bunga pada tanaman bunga pukul empat
(Mirabilis jalapa). Gen yang mengatur warna bunga pada
tanaman ini adalah M, yang menyebabkan bunga berwarna
merah, dan gen m, yang menyebabkan bunga berwarna putih.
Gen M tidak dominan sempurna terhadap gen m, sehingga warna
bunga pada individu Mm bukannya merah, melainkan merah
muda. Oleh karena itu, hasil persilangan sesama genotipe Mm
akan menghasilkan generasi F2 dengan nisbah fenotipe merah :
merah muda : putih = 1 : 2 : 1.
Kodominansi
Seperti halnya semi dominansi, peristiwa kodominansi akan
menghasilkan nisbah fenotipe 1 : 2 : 1 pada generasi F2.
Bedanya, kodominansi tidak memunculkan sifat antara pada
individu heterozigot, tetapi menghasilkan sifat yang merupakan
hasil ekspresi masing-masing alel. Dengan perkataan lain, kedua
alel akan sama-sama diekspresikan dan tidak saling menutupi.
21
Peristiwa kodominansi dapat dilihat misalnya pada
pewarisan golongan darah sistem ABO pada manusia (lihat juga
bagian pada bab ini tentang beberapa contoh alel ganda). Gen IA
dan IB masing-masing menyebabkan terbentuknya antigen A dan
antigen B di dalam eritrosit individu yang memilikinya. Pada
individu dengan golongan darah AB (bergenotipe IAIB) akan
terdapat baik antigen A maupun antigen B di dalam eritrositnya.
Artinya, gen IA dan IB sama-sama diekspresikan pada individu
heterozigot tersebut.
Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masing-
masing memiliki golongan darah AB dapat digambarkan seperti
pada diagram berikut ini.
IAIB x IAIB
1 IAIA (golongan darah A)
2 IAIB (golongan darah AB)
1 IBIB (golongan darah B)
Golongan darah A : AB : B = 1 : 2 : 1
Gambar 2.6. Diagram persilangan sesama individu bergolongan
darah AB
22
Gen letal
Gen letal ialah gen yang dapat mengakibatkan kematian pada
individu homozigot. Kematian ini dapat terjadi pada masa
embrio atau beberapa saat setelah kelahiran. Akan tetapi,
adakalanya pula terdapat sifat subletal, yang menyebabkan
kematian pada waktu individu yang bersangkutan menjelang
dewasa.
Ada dua macam gen letal, yaitu gen letal dominan dan gen
letal resesif. Gen letal dominan dalam keadaan heterozigot dapat
menimbulkan efek subletal atau kelainan fenotipe, sedang gen
letal resesif cenderung menghasilkan fenotipe normal pada
individu heterozigot.
Peristiwa letal dominan antara lain dapat dilihat pada ayam
redep (creeper), yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang pendek
serta mempunyai genotipe heterozigot (Cpcp). Ayam dengan
genotipe CpCp mengalami kematian pada masa embrio. Apabila
sesama ayam redep dikawinkan, akan diperoleh keturunan
dengan nisbah fenotipe ayam redep (Cpcp) : ayam normal (cpcp)
= 2 : 1. Hal ini karena ayam dengan genotipe CpCp tidak
pernah ada.
Sementara itu, gen letal resesif misalnya adalah gen
penyebab albino pada tanaman jagung. Tanaman jagung dengan
23
genotipe gg akan mengalami kematian setelah cadangan
makanan di dalam biji habis, karena tanaman ini tidak mampu
melakukan fotosintesis sehubungan dengan tidak adanya
khlorofil. Tanaman Gg memiliki warna hijau kekuningan,
sedang tanaman GG adalah hijau normal. Persilangan antara
sesama tanaman Gg akan menghasilkan keturunan dengan
nisbah fenotipe normal (GG) : kekuningan (Gg) = 1 : 2.
Modifikasi Nisbah 9 : 3 : 3 : 1
Modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1 disebabkan oleh peristiwa
yang dinamakan epistasis, yaitu penutupan ekspresi suatu gen
nonalelik. Jadi, dalam hal ini suatu gen bersifat dominan
terhadap gen lain yang bukan alelnya. Ada beberapa macam
epistasis, masing-masing menghasilkan nisbah fenotipe yang
berbeda pada generasi F2.
Epistasis resesif
Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif
menutupi ekspresi gen lain yang bukan alelnya. Akibat
peristiwa ini, pada generasi F2 akan diperoleh nisbah fenotipe 9 :
3 : 4.
Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada pewarisan warna
bulu mencit (Mus musculus). Ada dua pasang gen nonalelik
24
yang mengatur warna bulu pada mencit, yaitu gen A
menyebabkan bulu berwarna kelabu, gen a menyebabkan bulu
berwarna hitam, gen C menyebabkan pigmentasi normal, dan
gen c menyebabkan tidak ada pigmentasi. Persilangan antara
mencit berbulu kelabu (AACC) dan albino (aacc) dapat
digambarkan seperti pada diagram berikut ini.
P : AACC x aacc
kelabu albino
F1 : AaCc
kelabu
F2 : 9 A-C- kelabu
3 A-cc albino kelabu : hitam : albino
=
3 aaC- hitam 9 : 3 : 4
1 aacc albino
Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis
resesif
Epistasis dominan
25
Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi
gen oleh suatu gen dominan yang bukan alelnya. Nisbah fenotipe
pada generasi F2 dengan adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 :
1.
Peristiwa epistasis dominan dapat dilihat misalnya pada
pewarisan warna buah waluh besar (Cucurbita pepo). Dalam hal
ini terdapat gen Y yang menyebabkan buah berwarna kuning dan
alelnya y yang menyebabkan buah berwarna hijau. Selain itu,
ada gen W yang menghalangi pigmentasi dan w yang tidak
menghalangi pigmentasi. Persilangan antara waluh putih
(WWYY) dan waluh hijau (wwyy) menghasilkan nisbah
fenotipe generasi F2 sebagai berikut.
P : WWYY x wwyy
putih hijau
F1 : WwYy
putih
F2 : 9 W-Y- putih
3 W-yy putih putih : kuning : hijau =
3 wwY- kuning 12 : 3 : 1
1 wwyy hijau
Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis dominan
Epistasis resesif ganda
26
Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen
I, epistatis terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang
bukan alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini
juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang
terjadi dinamakan epistasis resesif ganda. Epistasis ini
menghasilkan nisbah fenotipe 9 : 7 pada generasi F2.
Sebagai contoh peristiwa epistasis resesif ganda dapat
dikemukakan pewarisan kandungan HCN pada tanaman
Trifolium repens. Terbentuknya HCN pada tanaman ini dapat
dilukiskan secara skema sebagai berikut.
gen L gen H
Bahan dasar enzim L glukosida sianogenik enzim H HCN
Gen L menyebabkan terbentuknya enzim L yang mengatalisis
perubahan bahan dasar menjadi bahan antara berupa glukosida
sianogenik. Alelnya, l, menghalangi pembentukan enzim L. Gen
H menyebabkan terbentuknya enzim H yang mengatalisis
perubahan glukosida sianogenik menjadi HCN, sedangkan gen h
menghalangi pembentukan enzim H. Dengan demikian, l
epistatis terhadap H dan h, sementara h epistatis terhadap L dan
l. Persilangan dua tanaman dengan kandungan HCN sama-sama
rendah tetapi genotipenya berbeda (LLhh dengan llHH) dapat
digambarkan sebagai berikut.
27
P : LLhh x llHH
HCN rendah HCN rendah
F1 : LlHh
HCN tinggi
F2 : 9 L-H- HCN tinggi
3 L-hh HCN rendah HCN tinggi : HCN rendah =
3 llH- HCN rendah 9 : 7
1 llhh HCN rendah
Gambar 2.8. Diagram persilangan epistasis resesif ganda
Epistasis dominan ganda
Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap
pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen dominan
dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I,
maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis dominan ganda.
Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 15 : 1 pada generasi
F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat pada
pewarisan bentuk buah Capsella. Ada dua macam bentuk buah
Capsella, yaitu segitiga dan oval. Bentuk segitiga disebabkan
oleh gen dominan C dan D, sedang bentuk oval disebabkan oleh
gen resesif c dan d. Dalam hal ini C dominan terhadap D dan d,
sedangkan D dominan terhadap C dan c.
P : CCDD x ccdd
segitiga oval
28
F1 : CcDd
segitiga
F2 : 9 C-D- segitiga
3 C-dd segitiga segitiga : oval = 15 : 1
3 ccD- segitiga
1 ccdd oval
Gambar 2.9. Diagram persilangan epistasis dominan ganda
Epistasis domian-resesif
Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan dari
pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan
alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga
epistatis terhadap pasangan gen I. Epistasis ini menghasilkan
nisbah fenotipe 13 : 3 pada generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan-resesif dapat dilihat pada
pewarisan warna bulu ayam ras. Dalam hal ini terdapat pasangan
gen I, yang menghalangi pigmentasi, dan alelnya, i, yang tidak
menghalangi pigmentasi. Selain itu, terdapat gen C, yang
menimbulkan pigmentasi, dan alelnya, c, yang tidak
menimbulkan pigmentasi. Gen I dominan terhadap C dan c,
sedangkan gen c dominan terhadap I dan i.
P : IICC x iicc
putih putih
F1 : IiCc
putih
29
F2 : 9 I-C- putih
3 I-cc putih putih : berwarna = 13 : 3
3 iiC- berwarna
1 iicc putih
Gambar 2.10. Diagram persilangan epistasis dominan-resesif
Epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif
Pada Cucurbita pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu
cakram, bulat, dan lonjong. Gen yang mengatur pemunculan
fenotipe tersebut ada dua pasang, masing-masing B dan b serta L
dan l. Apabila pada suatu individu terdapat sebuah atau dua
buah gen dominan dari salah satu pasangan gen tersebut, maka
fenotipe yang muncul adalah bentuk buah bulat (B-ll atau bbL-).
Sementara itu, apabila sebuah atau dua buah gen dominan dari
kedua pasangan gen tersebut berada pada suatu individu, maka
fenotipe yang dihasilkan adalah bentuk buah cakram (B-L-).
Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan berupa buah
berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan
epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif.
P : BBLL x bbll
cakram lonjong
F1 : BbLl
cakram
30
F2 : 9 B-L- cakram
3 B-ll bulat cakram : bulat : lonjong = 9 : 6 : 1
3 bbL- bulat
1 bbll lonjong
Gambar 2.11. Diagram persilangan epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif
Interaksi Gen
Selain mengalami berbagai modifikasi nisbah fenotipe
karena adanya peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula
penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak
melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan
fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi
dua pasang gen nonalelik. Peristiwa semacam ini dinamakan
interaksi gen.
Peristiwa interaksi gen pertama kali dilaporkan oleh W.
Bateson dan R.C. Punnet setelah mereka mengamati pola
pewarisan bentuk jengger ayam. Dalam hal ini terdapat empat
macam bentuk jengger ayam, yaitu mawar, kacang, walnut, dan
tunggal, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12. Bentuk jengger ayam dari galur yang berbeda
Persilangan ayam berjengger mawar dengan ayam
berjengger kacang menghasilkan keturunan dengan bentuk
walnut tungal kacang
mawar
31
jengger yang sama sekali berbeda dengan bentuk jengger kedua
tetuanya. Ayam hibrid (hasil persilangan) ini memiliki jengger
berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila ayam berjengger walnut
disilangkan dengan sesamanya, maka diperoleh generasi F2
dengan nisbah fenotipe walnut : mawar : kacang : tunggal = 9 : 3
: 3 : 1.
Dari nisbah fenotipe tersebut, terlihat adanya satu kelas
fenotipe yang sebelumnya tidak pernah dijumpai, yaitu bentuk
jengger tunggal. Munculnya fenotipe ini, dan juga fenotipe
walnut, mengindikasikan adanya keterlibatan dua pasang gen
nonalelik yang berinteraksi untuk menghasilkan suatu fenotipe.
No comments:
Post a Comment