Friday, 25 September 2015

PRAKTEK KONSERVASI DALAM BUDIDAYA KOPI ROBUSTA DAN KEUNTUNGAN PETANI






dari pada copas (copy paste) dari bawah, mending langsung download file nya di atas, lebih teratur formatnya,  Trimakasih... cara convert pdf to word agar formatnya tidak berubah.
Cara convert Pdf ke Word Agar formatnya tidak berubah

Untitled-9
PRAKTEK KONSERVASI DALAM BUDIDAYA KOPI ROBUSTA
Suseno Budidarsono dan Kusuma Wijaya
World Agroforestry Centre  - ICRAF SE Asia, PO Box 161, Bogor 16001

ABSTRACT

From an environmental perspective, multistrata coffee (and shaded coffee) lead are to be preferred over coffee monoculture, as they protect biodiversity as well as protecting soil on sloping land through the litter layer and the root systems.  A recent study on international coffee market draws the conclusion that the market is willing to offer premium price to coffee beans that are produced in environmentally friendly systems.
Using the Policy Analysis Matrix methodology this paper aims to understand :(i) how best multistrata coffee can provide incentives to smallholder coffee producers, (ii) what are the returns to land of this kind of land use system, and (iii) are there any strategic advantages embedded in the system that can be used by policy makers in dealing with the coffee cultivation within conflictsensitive areas such as state forestland, as it has been occurring in Sumberjaya.
<![if !vml]>
<![endif]>
The study concludes that at proces that reflect long term means, multistrata system are financially and economically viable and also generate sustainable employment opportunity  in  rural area with better returns to labor than coffee monocultures.  The strategic adventage of multistrata coffee system is that these land use systems can be offered as  an alternative land use practices in land conflict resolution that is rooted in  misperception of the state forest land utilization.
Keywords :  Multistrata coffee; Profitability; Returns to
Land; Returns to Labor; Cost of
Establishment

ABSTRAK

Kajian -kajian tentang  manfaat ekologi dari budidaya kopi multistrata mengarah pada kesimpulan bahwa budidaya kopi multistrata memiliki fungsi konservasi terhadap keragaman hayati dan juga mampu  menekan erosi  sampai pada tingkat yang dapat diterima.  Sementara itu  pasar kopi internasional menawarkan harga premium untuk komoditas kopi yang dihasilkan dari sistem budidaya kopi yang  ramah lingkungan.
 Dengan menggunakan kerangka analisis Matrix Analisis Kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM), kajian ini mencoba untuk mengetahui (i) seberapa besar kopi multistrata mampu memberikan insentif bagi petani, (ii) seberapa besar profitabilitas lahan yang dihasilkan, dan (iii) adakah keunggulan srategis yang melekat dalam budidaya ini yang dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang budidaya kopi multistrata sebagai landasan dalam penentuan kebijakan dalam penanganan masalah budidaya kopi di kawasan rawan konflik lahan, seperti di Sumberjaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa  praktek budidaya kopi multistrata di Sumberjaya  secara finansial dan ekonomis ternyata mampu memberikan keuntungan bagi petani dan sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan secara berkelanjutan.  Nilai strategis dari budidaya kopi multistrata adalah bahwa penggunaan lahan ini bisa digunakan sebagai pilihan dalam penyelesaian konflik lahan yang berakar pada perbedaan persepsi atas pemanfatan kawasan hutan.
<![if !vml]><![endif]>
Kata kunci :  Kopi multistrata; Profitabilitas; Returns to Land; Returns to Labor; Biaya Investasi (Cost of Establishment)

PENDAHULUAN

Praktek budidaya kopi multistrata (mixed/ shaded coffee atau agroforestri kopi) yang dipercaya dapat memenuhi kepentingan ekonomi dan ekologi pada saat yang sama,  baru menjadi wacana sejak dua dasa warsa belakangan ini. Padahal budidaya kopi multi-strata sudah lama dipraktekkan oleh para petani kopi tradisional di berbagai belahan dunia,  termasuk di antaranya di Sumberjaya – kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) Tulang Bawang, propinsi Lampung, Pulau
Sumatra.  Kajian tentang  manfaat ekologi dari budidaya kopi multistrata mengarah pada kesimpulan bahwa budidaya kopi multistrata memiliki fungsi konservasi terhadap keragaman hayati (Faminow dan Rodriguez, 2001; Soto-Pinto et al.,  2000;  Perfecto dan Armbrect, 2003), dan  mampu  menekan erosi  sampai pada tingkat yang dapat diterima (Arsyad, 1977;  Ginting, 1982; Afandi et al., 1999 dan Hartobudoyo, 1979). Perkembangan pasar kopi internasional menunjukkan bahwa  komoditas kopi yang dihasilkan oleh budidaya kopi yang  ramah lingkungan tersebut, yang oleh Giovanucci (2003) disebut sebagai salah satu jenis ‘Sustainable Coffee’, berpeluang untuk mendapatkan harga premium.   Panos Varangis, Lead Economist pada Bank Dunia lebih jauh   menegaskan:
Coffee is arguably one of the world’s most important cash crops and is vital to the livelihood of more than 25 million small coffee farmers.  Sustainable coffees can provide such benefits as improved natural resource management; fewer agrochemicals used in production, which decreases costs and health risks; and increased use of rural labour, which provides more jobs for those in desperate need.”<![if !supportFootnotes]>[2]<![endif]>
Tulisan ini  mencoba untuk memberikan sisi pandang finansial dan ekonomi dari praktek budidaya kopi multistrata di Sumberjaya.  Persoalan yang diangkat adalah apakah kopi multistrata mampu memberikan imbalan yang lebih baik bagi petani dan berapa besar profitabilitas lahan yang mampu dihasilkan? Pemahaman ini penting untuk mengetahui seberapa besar insentif yang mampu diberikan oleh budidaya kopi multistrata kepada petani.  Untuk kepentingan kebijakan publik, kajian ini memberikan pemahaman  yang lebih baik tentang budidaya kopi multistrata sebagai landasan dalam penentuan kebijakan.

METODOLOGI

Kerangka Analisis: Matrix Analisis Kebijakan Kerangka analisis yang digunakan dalam kajian profitabilitas ini adalah Matrix Analisis Kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM)  yang dikembangkan oleh Monke dan  Pearson (1995).   Sebagai alat analisis, PAM merupakan matrix informasi tentang kebijakan pertanian/ sumberdaya alam dan ketidaksempurnaan pasar dari faktor domestik terkait.  Matrik ini disusun dengan membandingkan neraca sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang dihitung dengan harga finansial (berdasarkan harga aktual pasar lokal) di satu sisi dan  neraca yang dihitung dengan estimasi harga ekonomisnya atau harga sosial (yang mencermikan effisiensi penggunaan sumberdaya) di sisi yang lain.Secara sederhana kerangka Matrix Analisis Kebijakan disajikan dalam Tabel 1
Matrix ini terdiri dari dua set perhitungan. Pertama,  perhitungan profitabilitas (kemampuan menciptakan keuntungan) usaha tani atau pemanfaatan sumberdaya alam; seperti tergambar secara horizontal, di mana tingkat keuntungan dapat dilihat pada kolom paling kanan yang merupakan selisih dari penerimaan (kolom paling kiri) dan pengeluaran/ biaya (kolom-kolom di tengah).   Ada dua perhitungan profitabilitas, yaitu profitabilitas finansial atau privat dan profitabilitas ekonomis atau sosial.  Profitabilitas finansial atau profitabilitas privat  yang mengacu pada  penerimaan dan pengeluaran aktual, menunjukkan  daya saing dari suatu sistem usaha tani pada tingkat teknologi dan dalam lingkungan kebijakan tertentu.   Sedangkan profitabilias ekonomis/sosial, seperti terlihat di baris kedua  dalam  Tabel 1, adalah perhitungan untung-rugi dengan menggunakan hargaharga ekonomis/sosial yang mencerminkan keunggulan komparatif atau tingkat effisiensi dari suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan.   Nilai hasil usaha tani atau output (E) dan nilai asupan pertanian (F), mengacu pada harga-harga internasional (dalam hal ini  harga c.i.f untuk barang dan jasa yang diimpor, dan harga f.o.b untuk barang dan jasa yang diekspor) yang sudah terbebas dari berbagai kebijakan perdagangan seperti pajak, subsidi dan tarif.  Nilai faktor domestik (G) berupa modal, tenaga kerja dan lahan yang digunakan dalam suatu sistem usaha tani/ penggunaan lahan, didekati dengan menduga nilai pengorbanan atas penggunaan sumberdaya tersebut.
Kedua,  effect of divergence, yaitu selisih antara hasil perhitungan dengan menggunakan harga finansial dan hasil perhitungan dengan menggunakan harga ekonomisnya, guna melihat derajat  perbedaan sebagai akibat dari adanya kebijakan pemerintah dan/ atau ketidak-sempurnaan pasar.  Perhitungan  effect of divergences terlihat pada baris ketiga dalam Tabel 1.  Meskipun baris ketiga ini hanya melihat selisih antara perhitungan profitabilitas finansial dan perhitungan ekonomis atas penerimaan, biaya dan keuntungan,   baris ini merupakan inti dari pendekatan Matrix Analisis Kebijakan.  Setiap perbedaan  yang muncul,  yaitu selisih  hasil perhitungan harga finansial dan harga ekonomisnya,  memberikan indikasi  adanya dampak kebijakan atau kegagalan pasar dalam satu sistem ekonomi.

Parameter

Tiga parameter utama yang dianalisis dalam kajian ini adalah (a) profitabilitas, yaitu kemampuan memberikan keuntungan dengan mengarahkan perhatian kepada returns to land (profitabilitas lahan) dan returns to labour (penerimaan per hari orang kerja/HOK); (b) biaya investasi (cost of establishment); dan (c) kebutuhan tenaga kerja.
Profitabilitas diukur dengan menggunakan Net Present Value (NPV) 3,  yaitu selisih antara nilai sekarang dari manfaat/penerimaan dan nilai sekarang dari biaya yang dikeluarkan selama kurun waktu tertentu pada tingkat bunga yang ditentukan  (Gitinger, 1982 p. 319).  Dalam hal ini NPV diukur baik  pada harga finansial maupun harga ekonomisnya.  Nilai positif NPV dari satu kegiatan investasi menunjukkan bahwa kegiatan tersebut cukup menguntungkan. Perhitungan NPV dengan menggunakan harga-harga ekonomi (profitabilitas ekonomis), yaitu harga barang dan jasa yang mencerminkan pengorbanan dan nilai paling  effisien,  menghasilkan parameter profitabilitas potensial yang menjadi perhatian para pengambil keputusan atau masyarakat  luas.  NPV yang dihitung dengan nilai ekonomi, merupakan indikator besarnya returns to land atau profitabilitas lahan (Vosti et al., 1998 : 12).
Tabel 1.  Matrix Analisis Kebijakan
<![if !vml]><![endif]>Biaya
Pener  Trada     Pro          imaan    ble          Faktor    fit
Domestik
Inputs
Harga finansial/ privat
A
B
C
D1
Harga ekonomis/ social
E
F
G
H2
Effect of divergences dan efficient policy 
J4
K5
L6
 Sumber: Monke dan  Pearson (1995, p.19)  Keterangan :
<![if !supportLists]>1  <![endif]>Keuntungan finansial/privat (D=A-B-C)
<![if !supportLists]>2  <![endif]>Keuntungan ekonomis/potensial/social (H=E-F-C)
<![if !supportLists]>3  <![endif]>Output transfer (I=A-E) 4 Input transfer  (J=B-F)
<![if !supportLists]>5  <![endif]>Factor transfer  (K=C-G)
<![if !supportLists]>6  <![endif]>Net transfer  (L=D- H atau L=I-J-K)
 Ratio Indicators untuk membandingkan sistem yang berbeda
Private cost ratio (PCR): C/(A – B)
Domestic resource cost ratio (DRC): G/(E – F)
Nominal protection coefficient (NPC) on tradable outputs (NPCO): A/E on tradable inputs (NPCI): B/F
Effective protection coefficient (EPC): (A– B)/
(E – F)
Koefisien profitabilitas  (PC): (A–B–C)/(E–F–G) or D/H
Rasio subsidi untuk produser (SRP): L/E or (D –
H)/E
Sementara itu, returns to labour (penerimaan upah HOK-1)  dihitung dengan cara mengubah ‘surplus’ yang ada menjadi upah perhari orang kerja  (Vosti et al., 1998 : 13).  Secara tekhnis perhitungan dilakukan dengan mengubah tingkat upah dalam neraca usaha tani sedemikian rupa sehingga NPV = 0. Returns to labour yang dihitung dengan harga finansial merupakan indikator insentif produksi bagi petani, yaitu mengukur seberapa besar insentif yang mampu diberikan oleh satu sistem usaha tani bagi petani dalam berproduksi.
Berkenan dengan biaya investasi (cost of establishment), analisis diarahkan kepada aliran uang kas (cashflow), yaitu besarnya pengeluaran dan penerimaan dalam kurun waktu  analisis (25 tahun). Yang dimaksudkan dengan biaya investasi di sini adalah nilai sekarang dari jumlah seluruh pengeluaran sampai pada saat sistem memberikan selisih positif pada aliran uang kas (Vosti et al., 1998 : 14).

Kebutuhan data dan Asumsi

Komponen pokok dari Matrix Analisis Kebijakan adalah perhitungan untung-rugi atau neraca usaha tani/ penggunaan sumberdaya alam.  Oleh karena itu data dan informasi untuk penyusunan neraca usaha tani mutlak harus tersedia. Data dan informasi yang diperlukan mencakup : asupan usaha tani baik  sarana produksi maupun tenaga kerja dan modal sesuai dengan tingkat teknologi yang digunakan, tingkat produksi usaha tani,  harga-harga dari komoditas pertanian terkait, harga-harga sarana produksi,  tingkat upah tenaga kerja, dan tingkat bunga yang mencerminkan biaya atas modal yang digunakan.  Ada dua macam informasi harga, upah dan tingkat bunga yang diperlukan  dalam amalisis ini. Pertama, harga-harga dari komoditas yang dihasilkan, tingkat upah dan tingkat bunga di pasar lokal;  benar-benar  mencerminkan penerimaan dan pengeluaran aktual dalam  sistem usaha tani yang bersangkutan.  Kedua, harga-harga ekonomis  dari  komoditas pertanian dan asupan pertanian terkait, seperti telah disinggung di atas.
Mengingat bahwa investasi budidaya kopi adalah investasi jangka panjang (lebih dari 15 tahun),  maka kurun waktu analisis dalam kajian ini adalah 25 tahun dimulai dari permulaan budidaya kopi (tahun nol). Sehubungan dengan  hal itu  analisis finansial dan ekonomi atasnya tidak bisa menggunakan data satu tahun saja.   Data tentang harga-harga  yang digunakan untuk menyusun neraca usaha tani dalam analisis ini adalah rata-rata harga nyata sepuluh tahun tarakhir, yaitu sampai dengan tahun 2000.   Dengan demikian efek fluktuasi harga sudah dapat dikurangi dalam dalam penyusunan neraca usaha tani.
Asumsi-asumsi yang dipertimbangkan dalam kajian ini adalah sebagai berikut. Pertama, keadaan tahun nol dari lahan budidaya kopi yang menjadi target analisis adalah sisa tebangan hutan sekunder berupa semak dan atau padang alang-alang, sehingga  tidak ada hasil sampingan pada saat persiapan lahan.  Kedua, asumsi keadaan makro ekonomi menggunakan data keadaan tahun 2000, yaitu tingkat upah nyata pertanian Rp 8,000 per hari orang kerja (HOK),  nilai tukar Rupiah adalah Rp 8,421 untuk setiap US $ 1,  dan tingkat bunga nyata yang diguna-kan adalah 15% per tahun untuk perhitungan pada harga finansial dan 10% per tahun untuk tingkat bunga nyata pada harga sosial <![if !supportFootnotes]>[4]<![endif]>.

Sejarah budidaya kopi di Sumberjaya

Sumberjaya adalah nama sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, yang pada tahun 2000 dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu, Kecamatan Sumberjaya dan Kecamatan Way Tenong.   Dalam tulisan ini daerah Sumberjaya mengacu pada keadaan sebelum tahun 2000, yaitu terdiri atas 28 desa dengan total luas wilayah 54.194 hektar atau 10,9%  dari total luas
Kabupaten Lampung Barat. Wilayah yang berpenduduk mendekati 90,000 (pada tahun 2000) merupakan daerah produsen kopi robusta.  Sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian, terutama bercocok tanam kopi dan kebun campuran. Sumbangan budidaya kopi terhadap kegiatan ekonomi penduduk tidak terbatas pada hasil produksi kopi semata, akan tetapi juga terbukanya lapangan pekerjaan di sektor perdagangan dan jasa (pengangkutan).
Budidaya kopi  di Sumberjaya mengalami perkembangan pesat  pada dekade 70an dan 80an. Analysis terhadap perubahan penggunan lahan, menunjukkan bahwa luas kawasan berhutan di daerah itu menurun cukup tajam  pada dua dekade tersebut, yaitu dari 60% pada tahun 1970 menjadi 13% pada tahun 1990 (Ekadinata, 2002).  Yang menarik adalah bahwa penurunan luas kawasan berhutan tersebut diiringi oleh perluasan kebun kopi, bahkan di dalam kawasan hutan lindung dan taman nasional.   Selain itu,  perluasan kebun kopi tersebut  berlangsung seiring dengan membaiknya harga kopi dunia pada waktu itu5. Seolah ada hubungan antara membaiknya harga kopi dunia dengan perluasan kebun kopi di Sumberjaya.
Budidaya kopi di Sumberjaya yang kebanyakan dilakukan oleh keluarga petani dengan skala kecil (kurang dari 3 ha), dimulai dari cara tradisional dengan praktek peladangan berpindah oleh para perintis etnis Semendo dari Sumatra Selatan, lebih dari satu abad yang lalu. Huitema (1935, dikutip Verbist 2000) menulis bahwa pada tahun 1880, komoditas kopi sudah dikenal<![if !supportFootnotes]>[5]<![endif]>di daerah ini.Bahkan salah satu desa tertua di Sumberjaya, Desa Sukajaya,  adalah desa pertama di Sumberjaya yang dibangun oleh para pendatang etnis Semendo pada tahun 1891.
Pada awalnya para perintis tersebut mengubah hutan menjadi kebun kopi dengan cara tebas bakar. Pengelolaan kebun kopi dengan asupan rendah dilakukan hanya oleh tenaga kerja keluarga terbatas pada pemeliharaan tanaman kopi pada fase pertumbuhan. Mereka biasanya akan membuka kebun kopi yang baru pada saat  kebun kopi yang ada sudah melewati masa ngagung<![if !supportFootnotes]>[6]<![endif]> atau kebun kopi sudah berkurang hasilnya.   Jenis kopi  yang dibudidayakan saat itu adalah jenis Arabica dan Liberia.  Akan tetapi, karena serangan hama karat daun (blast diseases) atau Hemelia vastarix yang menghancurkan perkebunan kopi di seluruh Indonesia<![if !supportFootnotes]>[7]<![endif]>, sejak  tahun 1911, jenis Robusta  yang dipercaya lebih tahan terhadap serangan  hama penyakit  dari pada jenis Arabica, mulai menggantikan kedua jenis sebelumnya (Huitema, 1935).
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan pola budidaya kopi  seiring dengan  meningkatnya jumlah penduduk migran dari Jawa dan tempat-tempat lain di Provinsi Lampung, di daerah ini.  Pada tahun 1920an dengan masuknya tenaga kerja wanita suku Jawa untuk pemeliharaan kebun kopi, para perintis budidaya kopi di Sumberjaya terdorong untuk memperluas kebun kopi dengan membuka hutan di Sumberjaya (Benoit et al., 1989).  Pada awal tahun 1950an  Sumberjaya menjadi daerah target program transmigrasi  dari Biro Rekonstruksi Nasional  yang memindahkan veteran perang kemerdekaan dari Jawa Barat (Kusworo, 2000).  Pemindahan veteran perang ini kemudian diikuti oleh gelombang migrasi spontan dari Jawa dan daerah lain di dan sekitar propinsi Lampung.  Para veteran perang dan para migran spontan tersebut memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perluasan perkebunan kopi rakyat dan pengembangan tekhnologi budidaya kopi di daerah ini.  Seperti misalnya, tekhnik bercocok tanam kopi yang lebih permanen dengan cara pengelolaan tanah yang lebih baik (pengendalian gulma dan pemupukan) dan pemeliharaan tanaman kopi (pemangkasan, potong tunas dan lain sebagainya).
Perkembangan lain yang perlu dicatat adalah adanya kecenderungan untuk meningkatkan produtivitas per unit lahan dengan peningkatan intensitas pengelolaan lahan, khususnya  setelah masuknya para migran suku Jawa.   Misalnya : upaya konservasi tanah dengan pembuatan rorak, lubang angin maupun gulud;   praktek berkebun campuran di kebun kopi dengan menanami berbagai tanaman tahunan  (baik kayu ataupun buah-buahan) sebagai tanaman pelindung kopi; dan upaya peningkatan produksi kopi dengan cara memperbaiki varietas tanaman kopi melalui okulasi.  Praktek-praktek tersebut selain diadopsi dari praktek pengelolaan kebun di Jawa juga dipengaruhi petugas penyuluh lapangan dari Dinas Perkebunan dan  pelaksanaan program reboisasi dan penghijauan oleh dinas terkait.
Perambahan kawasan hutan lindung dan taman nasional untuk budidaya kopi juga mewarnai perkembangan budidaya kopi di Sumberjaya, dan menimbulkan masalah sosial yang serius.  Upaya penyelesaian secara tuntas sulit dilakukan,  bahkan upaya yang pernah dilakukan pun membuahkan persoalan baru (Kusworo, 2000;  Budidarsono et al., 2000: 1-2).  Usaha-usaha untuk mencegah perluasan kebun kopi ke kawasan hutan negara pernah dilakukan melalui program penghutanan kembali. Usaha ini tidak saja membuahkan perlawanan masyarakat dan menyengsarakan penduduk<![if !supportFootnotes]>[8]<![endif]>, akan tetapi lebih dari itu, usaha tersebut tidak mengurangi minat petani petani untuk tetap bercocok tanam kopi di kawasan ini. Pengalaman menunjukkan bahwa daya tarik budidaya kopi di Sumberjaya jauh lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha pemerintah untuk mencegah perluasan kebun kopi ke dalam kawasan hutan lindung.   Seperti ternyata dalam krisis ekonomi antara 1998 – 2000 yang lalu, perambahan hutan untuk budidaya kopi kembali meluas dan hutan lindung yang sudah dihutankan kembali pun dibuka lagi untuk kebun kopi.
Penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan terobosan untuk menjawab persoalan pelik di atas. Surat Keputusan tersebut memberikan peluang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan negara bagi masyarakat guna  pemberdayakan kehidupan mereka tanpa mengganggu fungsi pokoknya.  Melalui skema HKm, kegiatan pengelolan hutan negara diarahkan untuk mengoptimalkan manfaat hutan bagi kesejahteraan masyarakat secara luas melalui pemanfaatan lahan, jasa lingkungan, dan  ekstraksi hasil kayu dan non kayu. Seiring dengan itu,  mereka yang memperoleh manfaat dalam skema HKm, diwajibkan untuk menjaga, memperbaiki dan mempertahankan fungsi hutan lindung dengan menerapkan praktek konservasi dalam pemanfaatan kawasan hutan.

Tipologi  Budidaya Kopi

Praktek budidaya kopi di Sumberjaya sangat beragam. Secara umum budidaya kopi di wilayah ini dapat dikelompokkan berdasarkan tiga kategori : (a) kompleksitas struktur vegetasi, (b)  intensitas pengelolaan kebun, dan (c) status penguasaan lahan (Budidarsono et al., 2000).   Berdasarkan struktur vegetasinya,  budidaya kopi di Sumberjaya bervariasi di antara dua kutub :  kebun kopi monokultur (tanpa naungan) dan kebun kopi multistrata dengan struktur vegetasi yang cukup komplek.   Kompleksitas tanaman non kopi dalam kebun kopi multistrata bisa bervariasi dalam hal jumlah dan jenisnya;  baik yang berada pada strata di atas tanaman utama (kopi), maupun tanaman yang ada di bawah tanaman utama.  Dari hasil pengamatan Wulan (2002)  terhadap 19 kebun kopi multistrata di Sumberjaya<![if !supportFootnotes]>[9]<![endif]> , tercatat  66 jenis tumbuhan bernilai ekonomi (Periksa Lampiran 1).   Keragaman tumbuhan komersial per plot amatan bervariasi antara 10 dan 32 jenis.  Berdasarkan pengamatan tersebut, Kuncoro dan Budidarsono (2003), dalam analisis ekonomi kebun kopi multistrata, mengelompokkan kebun kopi dengan naungan menjadi tiga kelompok besar  : (a) kebun kopi dengan naungan pohon buahbuahan, (b) kebun kopi dengan naungan pohon kayukayuan dan (c) kebun kopi dengan naungan biasa (pohon dadap atau kayu hujan). Setiap kelompok masih dapat dibedakan lagi : dengan atau tanpa tanaman komersial di bawah tanaman kopi, seperti jahe, nanas, kapulogo dan lain sebagainya.
Berdasarkan intensitas pengelolaan kebun, budidaya kopi di Sumberjaya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola : (a) pionir - tradisional, (b) semi initensif atau intensitas pengelolaan sedang dan (c) intensif atau intensitas pengelolaan tinggi.  Sistem pionir - tradisional adalah budidaya kopi yang di terapkan oleh para perintis kopi di  Sumberjaya dahulu,
<![if !vml]><![endif]>
yaitu dengan intensitas pengelolaan rendah dan siklus budidaya relatif pendek  (sembilan tahun).  Budidaya kopi dengan sistem semi intensif biasanya bercirikan penggunaan asupan eksternal rendah sampai dengan sedang (pemupukan Urea dan TSP bervariasi antara 200 – 400 kg ha-1), pemeliharaan kebun (koret, pembuatan gulud dan/atau rorak) dan perawatan pohon kopi (pembersihan tunas dan pemangkasan batang) dilakukan dengan intensitas sedang, usia kebun kopi  diusahakan sepanjang mungkin, dan walaupun tidak selalu ada,  beberapa menerapkan penggunaan naungan. Bentuk yang terakhir, intensif, yaitu pengelolaan budidaya kopi dengan intensitas tinggi, dicirikan oleh penggunaan asupan eksternal yang relatif tinggi (campuran pupuk N dan P antara 800 dan 1000 kg per ha ), pemeliharaan kebun dan pohon dilakukan secara intensif,  termasuk grafting.
Berdasarkan status penguasaan lahan untuk budidaya kopi, pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua :  budidaya kopi di atas lahan milik sendiri dan budidaya di atas kawasan hutan negara. Baik sebelum maupun sesudah ada skema HKm, pembedaan ini memiliki konsekuensi finansial yang berarti bagi petani. Sebelum ada skema HKm, walaupun tidak ada mekanisme pembayaran yang jelas, mereka yang membudidayakan kopi di kawasan hutan negara wajib menyisihkan sejumlah uang untuk diserahkan kepada aparat terkait<![if !supportFootnotes]>[10]<![endif]>.   Sedangkan dalam skema HKm, mereka yang memanfaatkan kawasan hutan untuk budidaya kopi, wajib melakukan kegiatan konservasi, antara lain melakukan penanaman pohon (baik buah-uahan ataupun kayu) sesuai dengan arahan pihak kehutanan dan kesepakatan kelompok.
Berdasarkan pembedaan jenis budidaya kopi di atas terdapat 42  kemungkinan jenis budidaya kopi di Sumberjaya. Untuk kepentingan analisis ini, perhatian akan diarahkan kepada beberapa contoh budidaya kopi yang biasa dilakukan petani, yaitu :  dua jenis budidaya kopi monokultur di dalam kawasan hutan negara dan tiga jenis budidaya kopi dengan naungan dengan intensitas pengelolaan sedang  (masing-masing dibedakan menjadi dua yaitu dengan dan tanpa tanaman komersial  di bawah tanaman kopi). Intensitas pengelolaan sedang sengaja dipilih karena rejim pengelolaan ini yang paling banyak diterapkan oleh petani di Sumberjaya, utama-nya disebabkan oleh
<![if !vml]><![endif]>
Tabel 2. Budidaya Kopi  yang menjadi target analisis dan asumsi pengelolaan.
<![if !vml]><![endif]>
Jenis Budidaya                      Struktur                      Rejim
          Kopi                               Vegetasi                  Pengelolaan
<![if !vml]><![endif]>
1. Kopi Monokultur di dalam kawasan hutan
      a. pionir –                        Mono-
rendah; tidak
           tradisional                  kultur
dipupuk
      b. semi intensif               Mono-
sedang; pupuk
kultur
2. Kopi dengan naungan sederhana
200 kg ha-1 mulai tahun ketujuh
     a. dengan tanaman       Kom
sedang; pupuk
          komersial pada          -plek
200 kg ha-1 mulai
strata bawah
tahun  ketujuh
      b. tanpa                           Seder-
sedang; pupuk
          tanaman komersial   hana
pada 200 kg ha-1
strata bawah
mulai  tahun ketujuh
<![if !supportLists]>3.    <![endif]>Kopi Multistrata dengan pohon buah-buahan
a. dengan tanaman
Komplek
sedang; pupuk
komersial pada
200 kg ha-1mulai
strata bawah
tahun ketujuh
b. tanpa tanaman
Kom-
sedang; pupuk
komersial pada
plek
200 kg ha-1mulai
strata bawah
tahun ketujuh
<![if !supportLists]>4.    <![endif]>Kopi Multistrata dengan pohon buah-buahan
a. dengan tanaman
Kom-
sedang; pupuk
komersial pada
plek
200 kg ha-1mulai
strata bawah
tahun  ketujuh
b. tanpa tanaman
Kom-
sedang; pupuk
komersial pada
plek
200 kg ha-1mulai
strata bawah
tahun  ketujuh
<![if !vml]><![endif]>
harga kopi yang  cenderung rendah, dan  harga pupuk yang cenderung meningkat. Tabel 2 berikut menyajikan rincian budidaya kopi yang menjadi target analisis tulisan ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keuntungan, Investasi dan Penyerapan Tenaga

Kerja

Tabel  3 menyajikan hasil perhitungan profitabilitas dari beberapa budidaya kopi di Sumberjaya. Angka-angka dalam  Tabel  3  menunjukkan bahwa pola budidaya kopi multistrata jauh lebih menguntungkan dibandingkan pola monokultur.  Seperti terlihat dalam tabel, semua jenis budidaya kopi multistrata menghasilkan NPV positif.   Sedangkan budidaya kopi monokultur menghasilkan nilai NPV negatif untuk pola pionir-tradisional.  Perlu digaris-bawahi bahwa NPV negatif tidak selalu berarti bahwa sistem tersebut tidak memberikan penerimaan bagi petani.  NPV negatif memberikan petunjuk bahwa sumberdaya yang digunakan (lahan, tenaga kerja dan modal)  akan lebih menguntungkan untuk melakukan kegiatan yang lain.
Jika profitabilitas lahan dengan harga sosial dipakai sebagai indikator  profitabilitas potensial dalam perspektif para pengambil keputusan,  maka berdasarkan skenario produksi  selama 25 tahun, kopi naungan berpotensi memberikan keuntungan bersih bervariasi antara Rp. 7,5 juta (kopi naungan sederhana tanpa tanaman komersial pada strata bawah) sampai dengan Rp. 33.5 juta (kopi multistrata berbasis buahbuahan dengan tanaman komersial pada strata bawah). Secara finansial kemampuan memberikan keuntungan dakhil (IRR) dari budidaya kopi multistrata berkisar antara 21.4% dan 36.5%; relatif lebih besar dari pada tingkat bunga resmi pada tahun 2000.
Hasil perhitungan penerimaan per HOK (returns to labour) yang merupakan indikator besarnya insentif yang bisa disediakan oleh suatu sistem usaha tani, menunjukkan bahwa budidaya kopi multistrata mampu memberikan returns to labour  yang relatif  lebih besar dari pada tingkat upah rata – rata kegiatan pertanian di Sumberjaya (dalam hal ini Rp. 8.000 HOK-1).    Ini berimplikasi pada dua hal.  Pertama, budidaya multistrata bisa menjadi agen untuk memperbaiki dan mempertahankan kawasan lindung yang sekaligus memperbaiki kehidupan petani.   Kedua,  sistem usaha tani yang memiliki insentif  yang tinggi cenderung menjadi daya tarik bagi penduduk di sekitarnya, yang pada gilirannya akan mengancam daya dukung wilayah karena meningkatnya tekanan penduduk.   Hal kedua ini, sampai derajat tertentu, sudah terjadi di wilayah Sumberjaya sejak dua dasa warsa belakangan.
Dari  perhitungan aliran uang kas (cashflow),  kopi multistrata  menghasilkan positif cashflow lebih cepat (pada tahun keempat) dari pada budidaya kopi monokultur di dalam kawasan hutan (positif cashflow baru terjadi pada tahun kelima).  Ini berimplikasi pada besarnya  biaya investasi dan jumlah tenaga kerja yang diperlukan pada tahap establishment.   Seperti terlihat dalam Tabel 4, besarnya biaya investasi (cost of establishment) dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk budidaya kopi monokultur relatif lebih besar dari pada budidaya multistrata.
Dari segi investasi yang harus ditanam, nilai investasi sebesar  Rp. 7 juta ha-1 dan direalisasikan selama empat tahun, nampaknya bukan merupakan jumlah yang terlalu besar bagi petani. Apalagi jika dicermati dengan seksama, sebagian besar investasi adalah dalam bentuk upah tenaga kerja yang biasanya merupakan tenaga kerja keluarga.   Dengan demikian, sebenarnya pengeluaran nyata sudah  barang tentu
Tabel 3.  Profitabilitas budidaya kopi : monokultur dan multistrata.
                 Profitabilitas lahan
Penerimaan
IRR
                  (Returns to land)
   per HOK)
dalam
          NPV pada         NPV pada
(Returns
harga
harga finansial harga lsosial
to Labour)
financial
Rp. 000
Rp. 000
Rp.
(%)
1.  Kopi Monokultur di dalam kawasan hutan
a.    pionir  – tradisional
(1,881)
(541)
6,176
4.9
b.    semi intensif
24
5,730
8,016
15.1
2. Kopi dengan naungan sederhana
a.    dengan tanaman komersial pada strata bawah
6,994
15,684
13,501
31.8
b.    tanpa tanaman komersial pada strata bawah
2,443
7,485
9,927
21.4
3.  Kopi Multistrata dengan pohon buah-buahan
a.    dengan tanaman komersial pada strata bawah
15,342
33,510
18,771
36.5
b.    tanpa tanaman komersial pada strata bawah
10,853
25,476
15,683
29.3
4.  Kopi Multistrata dengan pohon kayu-kayuan
a.    dengan tanaman komersial pada strata bawah
7,496
15,981
13,924
32.2
b.    tanpa tanaman komersial pada strata bawah
3,501
9,329
8,933
23.3
Sumber : Perhitungan penulis
lebih kecil dari jumlah itu. Dibandingkan dengan besarnya anggaran biaya yang disediakan pemerintah untuk penghutanan kembali (reboisasi), yaitu Rp 5 juta per hektar (wawancara dengan Kepala Dinas
Kehutanan Lapung Barat), nilai investasi budidaya kopi multistrata memang lebih besar.  Akan tetapi, nilai investasi budidaya kopi multistrata memberikan manfaat yang lebih besar dan bernilai strategis dalam kebijakan publik.  Seperti diketahui bahwa budidaya kopi multistrata memberikan manfaat langsung secara berkelanjutan bagi petani berupa hasil-hasil pertanian dan tersedianya kesempatan kerja (107 -166 HOK ha-1 tahun-1). Selain itu, fungsi hutan lindung seperti yang diharapkan masyarakat banyak,  dapat diperbaiki dan dipertahankan melalui budidaya kopi multistrata tanpa harus disediakan anggaran publik untuk program penghutanan kembali, karena investasi kopi multistrata dilakukan oleh petani.
Menyangkut kebutuhan tenaga kerja,  angkaangka jumlah tenaga kerja di dalam Tabel 4 memberikan indikasi bahwa intensitas kegiatan budidaya kopi pada tahap establishment cukup tinggi. Budidaya kopi multistrata  kerja adalah pada tahun awal budidaya, yaitu  sekitar 350 HOK per hektar, baik untuk kopi monokultur maupun multistrata.   Pada tahap operasional,  budidaya kopi monokulutur dengan pengelolaan semi intensif membutuhkan tenaga kerja paling besar (184 HOK ha-1tahun-1) di antara sistem lainnya, dan relatif lebih besar dari pada budidaya kopi multistrata yang menyerap rata-rata 107 HOK ha-1 tahun-1.  Perbedaan yang menonjol terletak pada jumlah tenaga kerja untuk perawatan kebun (koret  dan pemupukan). Budidaya kopi monokultur, memperkerjakan rata – rata  69 HOK/ha/ tahun (pionirtradisional) dan 86 HOK ha-1 tahun-1 (semi intensif) untuk penyiangan (koret). Sementara itu budidaya kopi multistrata hanya  memerlukan 32 HOK ha-1 tahun-1.
Bertolak dari hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan kemampuan menyerap tenaga kerja sebesar 107 – 166 HOK ha-1tahun-1  dan dengan tingkat penerimaan upah per HOK lebih besar dari upah pertanian rata-rata di wilayah ini, kopi multistrata memberikan kontribusi yang berarti  dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk di samping memperbaiki kondisi lahan di dalam kawasan yang diharapkan memiliki fungsi lindung.  Sementara itu kendala tenaga kerja yang dihadapi petani kopi multistrata relatif lebih kecil dari pada kendala  serupa bagi mereka yang  melakukan budidaya kopi monokultur.

KESIMPULAN

Praktek budidaya kopi multistrata di Sumberjaya yang dipercaya dapat memiliki fungsi lindung bagi daerah aliran sungai, secara finansial ternyata mampu memberikan keuntungan bagi petani dan sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan secara berkelanjutan.  Nilai strategis dari  budidaya kopi multistrata adalah bahwa pilihan penggunaan lahan ini bisa menjadi alat penyelesaian konflik lahan yang berakar pada perbedaan persepsi atas penggunaan kawasan hutan.
Tabel 4.  Biaya investasi, positif cashflow dan tenaga kerja.
<![if !vml]><![endif]>
Nilai sekarang Tahun Jumlah tenaga kerja investasi terjadinya   yang diperlukan
<![if !supportMisalignedColumns]> <![endif]>
Jenis kebun
(discounted cost
positive
Pada tahap
Pada tahap
of establishment)
cashflow
establishment
operasional
(Ribuan Rp ha-1)
Tahun ke:
(hok-1ha-1)
(hok ha-1thn-1)
1. Kopi Monokultur di dalam kawasan hutan
a.   pionir  – tradisional                                      9,004
5
1,043
120
b.  semi intensif
9,187
5
1,050
184
2. Kopi dengan naungan sederhana
a.  dengan tanaman komersial pada
6,997
4
871
107
strata bawah
b.  tanpa tanaman komersial pada
7,003
4
871
107
strata bawah
3. Kopi Multistrata dengan pohon buah-buahan
a.  dengan tanaman komersial                        7,018
4
873
162
pada strata bawah
b.  tanpa tanaman komersial                           7,018
4
873
166
pada strata bawah
4. Kopi Multistrata dengan pohon kayu-kayuan
a.  dengan tanaman komersial                        6,988
4
870
107
pada strata bawah
b.  tanpa tanaman komersial pada strata bawah
6,988
4
870
107
Sumber : perhitungan penulis

DAFTAR PUSTAKA

Afandi T.; Rosadi, B.; Manik T.K.; Senge M.; Oki Y. dan T. Adachi.  1999.   In Ginting, C.; Gafur, A.; Susilo, F.X.; Salam, A.K.; Karyanto, A.;  Utomo, S. D.; Kamal, M.; Lumbanraja, J.  and Z. Abidin (eds.), ‘The dynamics of soil water pressure under coffee tree with different weed management in a hilly area of Lampung, Indonesia”..  Proceedings International Seminar Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century. Bandar Lampung, Sept. 27-28, 1999.  University of Lampung. pp. 387-394
Arsyad, S.  1977.  Pengawetan Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor,  Bogor.
Benoit, D.; Pain, M.; Levang, P. and O. Sevin.  1989. Transmigration et  Sponteneous en Indone-sia/ Transmigration and Spontaneous Migration in Indonesia : Propinsi Lampung.  ORSTOM – Departemen Transmigrasi RI, Jakarta Budidarsono, S.;  Kuncoro, S. A. and T.P. Tomich. 2000.  A Profitability Assessment of Robusta coffee system in Sumberjaya watershed, Lampung, Sumatra, Indonesia.  Southeast Asia Policy Research Working Paper No 16.  ICRAF SEA, Bogor.
Ekadinata, A.P.  2002.  Deteksi perubahan lahan menggunakan citra satelit multisensor di Sumber-jaya, Lampung. Skripsi S1, Jurusan Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institute Pertanian Bogor. Bogor.
Faminow, D.M. and E.A. Rodriguez.  2001.  Biodiversity of  Flora and Fauna in Shaded Coffee Systems.  ICRAF – Latin America Regional Ofice. Lima.
Giovanucci, D.  2003.   The State of Sustainable Coffee:  A study of twelve major market. Columbia: ICO.
Gintings, A. N.  1982.  Aliran Permukaan dan Erosi Tanah yang Tertutup Tanaman Kopi dan Hutan Alam di Sumberjaya - Lampung Utara.  Laporan No. 399.  Bogor, Balai Peneli-tian Hutan
Gitinger, J.P.  1982.  Economic Analysis of Agricultural Projects. Second Edition.  Baltimore, Johns Hopkin University  Press.
Hartobudoyo, D.  1979.  Pemangkasan Kopi. Jember, Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Sub Balai Penelitian Budidaya.
IBRD/The World Bank.  2003.  Global Economic Prospect 2004, Realizing the Develop-ment Promise of the Doha Agenda. Washington DC.
Kuncoro, S. A. and  S. Budidarsono.  2003. Improving Resilience trough diversity – Analysis on shaded coffee system in Sumberjaya watershed, West Lampung, Indonesia. Working Paper. ICRAF – SEA, Bogor
Kusworo, A.  2000.  Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Bogor, Pustaka Latin. pp 101
Perfecto, I.  dan I. Armbrecht.  2003.  ‘The Coffee Agroecosystem in the Neotropics: Combining Ecological and Economic Goals’.dalam
Vandermeer, J.H. (Ed) Tropical  Agroecosystems, pp 159-194.  Florida,  CRC Press
Soto-Pinto, L.;  Perfecto I.; Castillo-Hernandez, J. and
J. Caballero-Nieto.  2000.  Shade Effect on Coffee Verbist, B.; Ekadinata, A.P. dan S. Budidarsono. 2004. Penyebab alih guna lahan dan akibatnya terhadap fungsi daerah aliran sungai (DAS) pada lansekap agroforestri berbasis kopi di Sumatra. Agrivita 26 (1): 29-38.
Vosti, S.A.; Witcover, J.; Gockowski, J.; Tomich, T.P.; Carpentier, C.L.; Faminow, M.; Oliveira, S. and C. Diaw.  2000.  Working Group on Economic and Social Indicators  – Report on Methods for the ASN Best-Bet Matrix.
Wulan, Y. C.  2002.  Penilaian manfaat ekonomi sistim kopi multistrata di Sumberjaya, Lampung Barat. Skripsi S1 Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. pp 58.

Production at the Northen Tzeltzal zone of  the State of Chiapas, Mexico. Agriculture Ecosystems and Environment: 80, 61-69.
No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Klas Strata
Frekuensi (%)
1
Dadap
Erythrina sububrams
D
89.5
2
Jarak
Ricinus communis
C
5.3%
3
Kihujan
Gliricidia sepium
C
84.2
4
Hamerang
Ficus fulva
C
26.3
5
Kayu afrika
Maesopsis eminii
E
21.1
6
Murbei
Morus alba
D
5.3
7
Petai cina
Leucaena leucocephala
C
42.1
8
Teureup
Artocarpus elasticus
E
15.8
9
Tisuk
Hibiscus cannabinus
E
10.53
10
Waru
Hibiscus spp.
D
5.3
11
Bayur
Pterospermum spp.
E
5.3
12
Cemara
Cryptomeria japonica
E
5.3
13
Jati
Tectona grandis
E
10.5
14
Mahoni
Swietenia mahogani
E
15.8
15
Pasang
Quercus sundaica
E
21.1
16
Sawo Manila
Manilkara zapota
E
21.1
17
Sengon
Paraserianthes falcataria
D
21.1
18
Trembesi
Samanea saman
D
5.3
19
Suren
Toona sureni
E
10.5
20
Tenam
Anisoptera spp.
E
5.3
21
Sonokeling
Dalbergia latifolia
D
42.1
22
Alpukat
Persea americana
D
73.7
23
Asam
Tamarindus indica
E
10.5
<![if !vml]>
<![endif]>
Tabel Lampiran: Tanaman komersial  di dalam kebun kopi multistrata
Tabel Lampiran: Tanaman komersial  di dalam kebun kopi multistrata (lanjutan).
No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Klas Strata
Frekuensi (%)
24
Belimbing
Averrhoa bilimbi
C
5.3
25
Cempedak
Artocarpus integer
E
10.5
26
Duku
Lansium domesticum
E
15.8
27
Durian
Durio zibethinus
D
78.9
28
Jambu air
Syzygium aqueum
C
36.8
29
Jambu batu
Psidium guajava
C
78.9
30
Jambu bol
Eugenia malaccencis
C
31.6
31
Jengkol
Pithecellobium jiringa
D
42.1
32
Jeruk
Citrus nobilis
C
36.8
33
Kedondong
Spondias pinnata
D
10.5
34
Lengkeng
Dimocarpus longan
D
10.5
35
Limus
Mangifera foetida
D
47.4
36
Mangga
Mangifera indica
D
68.4
37
Nangka
Artocarpus heterophyllus
D
100
38
Petai
Parkia speciosa
D
63.1
39
Rambutan
Nephelium lappaceum
D
52.6
40
Sawo
Manilkara kauki
D
15.8
41
Sirsak
Annona muricata
C
21.1
42
Tangkil
Gnetum gnemon
C
47.4
43
Aren
Arenga pinnata
E
47.4
44
Bambu
Bambusoidea spp.
E
42.1
45
Cengkeh
Eugenia aromatica
C
47.4
46
Coklat
Theobroma cacao
C
15.8
47
Kayu manis
Cinnamomum burmanii
C
68.4
48
Kelapa
Cocos nucifera
E
31.6
49
Kemiri
Aleurites moluccana
E
36.8
50
Kopi
Coffea robusta
B
100
51
Lada
Piper ningrum
52
Pepaya
Carica papaya
B
36.8
53
Pinang
Areca catechu
D
10.5
54
Pisang
Musa sp.
B
89.5
55
Randu
Ceiba pentandra
56
Salam
Eugenia polyantha
E
21.1
57
Cabe
Capsicum frutescens
A
5.3
58
Jahe
Zingiber offcinale
A
10.5
59
Kapulaga
Amomum compactum
A
10.5
60
Kunyit
Curcuma longa
A
21.1
61
Laja
Alpinia galanga
A
10.5
62
Nanas
Annanas comosus
A
10.5
63
Salak
Salacca zalacca
A
10.5
64
Singkong
Manihot esculenta
A
5.3
65
Talas
Colocasia esculenta
A
15.8
66
Rambai
Baccaurea motleyana
A
5.3
Sumber : Wulan (2002)
Keterengan  Klas Strata:
Strata A : ketinggian 0-1 meter, terdiri dari tanaman permukaan
Strata B  : ketinggian 1-5 meter, terdiri dari kopi, pisang dan pepaya
Strata C : ketinggain 5-15 meter
Strata D : ketinggian 15-20 meter
Strata E : ketinggian  lebih dari 20 meter
<![if !supportFootnotes]>

<![endif]>
<![if !supportFootnotes]>[1]<![endif]> Tulisan ini merupakan kajian ulang hasil penelitian profitabilitas budidaya kopi di Sumberjaya yang    disajikan dalam dua Laporan terpisah : Budidarsono et al. (2000) ;  dan  Kuncoro dan  Budidarsono (2003)
<![if !supportFootnotes]>[2]<![endif]> Pernyataan Varangis yang disampaikan dalam rangka peluncuran buku  ‘The State of Sustainable Coffee:  A study of twelve major market’ (Giovanucci, 2003) dikutip dari:http://web.worldbank.org/
W B S I T E / E X T E R N A L / T O P I C S / T R A D E / 0 , , c o n t e n t M D K : 2 0 1 3 1 7 8 1 ~ m e n u P K : 6 4 0 2 1 7 5 3 ~
pagePK:64020865~piPK:149114~theSitePK:239071,00.html
<![if !supportFootnotes]>[3]<![endif]>  Gitinger  (1982)  adalah acuan baku untuk analisis eko-nomi dalam proyek pertanian.   Terdapat pengukuran pro-fitabilias yang lain seperti IRR (internal rate of returns) dan Rasio Manfaat – Biaya (Benefir – Cost  ratio/BCR).  IRR merupakan parameter yang menunjukkan sejauh mana satu investasi mampu memberikan keuntungan. Nilai IRR yang lebih besar dari tingkat bunga umum mem-berikan petunjuk bahwa investasi tersebut cukup menguntungkan. BCR merupakan perbandingan antara nilai manfaat dan nilai biaya dari satu investasi pada tingkat bunga yang telah ditentukan.  Nilai BCR lebih besar dari satu menunjukkan bahwa investasi cukup menguntungkan
<![if !supportFootnotes]>[4]<![endif]> Tingkat bunga nyata (adalah tingkat bunga-dikurangi inflasi) digunakan untuk mendiskonto peneriman dan pengeluaran selama 25 tahun menjadi nilai sekarang (perhitungan NPV). Dalam kajian ini, perhitungan NPV menggunakan tingkat bunga konservatif.
<![if !supportFootnotes]>[5]<![endif]> Harga kopi Robusta pada tahun 1970 dan 1980 mencapai masingmasing US $3.26 per kg dan US $ 4.12/kg (IBRD/The Word Bank 2003. p 276).
<![if !supportFootnotes]>[6]<![endif]> Ngagung istilah lokal yang berarti melimpah.  Dikaitkan dengan hasil kopi,  istilah ngagung hanya berlaku pada saat kebun kopi mengalami produksi tertinggi sejak  ditanam; biasanya terjadi pada saat tanaman kopi berumur antara 6-7 tahun.
<![if !supportFootnotes]>[7]<![endif]> Disampaikan oleh Mark Hanuzs (penulis “A Cup of Java”, 2003) dalam wawancara dengan Majalah Mingguan  GATRA, No. 47
tahun IX,  11 Oktober 2003, pp 47-53
<![if !supportFootnotes]>[8]<![endif]> Kusworo (2000) dalam kajiannya  tentang sengketa kawasan hutan di Lampung antara lain menjelaskan bahwa pada awal tahun 1980an di Sumberjaya dilancarkan program penghutanan kembali kawasan hutan lindung yang sudah digunakan penduduk untuk berkebun kopi sejak tahun 1950an dengan cara memangkas dan mencabuti pohon kopi dan menggantikannya dengan Kaliandra (Caliandra calothirsus) serta memindahkan secara paksa penduduk yang bermukim di kawasan hutan lindung.
<![if !supportFootnotes]>[9]<![endif]>  Wulan (2002) melakukan inventarisasi tanaman komersial (memiliki nilai ekonomi) dan menggambarkan profilnya. Kegiatan itu dilakukan di 19 plot amatan milik petani responden yang mewakili pola kebun kopi campuran (multistrtata) di dua desa contoh di Sumberjaya.  Inventarisasi dilakukan terhadap semua jenis pohon komersial yang memiliki diameter lebih dari 10 cm. Metode yang digunakan untuk inventarisasi adalah dengan membuat petak tunggal ukuran 20 m x 20 m.  Sedangkan untuk penggambaran profil kebun kopi campuran dibuat plot dengan ukuran 50m x 10 m.  Dalam menentukan  lokasi petak amatan untuk menggambar profil kebun Wulan mempertim-bangkan pula topografi dan jarak plot dan petak amatan  dari rumah petani responden.
<![if !supportFootnotes]>[10]<![endif]> Kebanyakan petani tertutup dalam hal besarnya jumlah uang yang harus diserahkan. Pungutan ini merupakan pungutan tidak resmi dan besarnya pungutan ditentukan oleh para oknum aparat terkait secara arbitrer. Namun demikian pada tahun 2000, pemerintah Provinsi Lampung mengeluarkan Peraturan daerah  No. 7 tentang penarikan retribusi hasil hutan non kayu. Dalam peraturan  tersebut antara lain dinyatakan bahwa besarnya retribusi  komoditas kopi yang dihasilkan dari kawasan hutan adalah  Rp. 610/kg.  Akan tetapi Peraturan Daerah tersebut ditunda pelaksanaanya, karena banyak ditentang baik oleh petani maupun pembeli internasional (KOMPAS, 8 Maret 2000; KOMPAS,  3 Agustus 2000)

No comments:

Post a Comment