dari pada copas (copy paste) dari bawah, mending langsung download file nya di atas, lebih teratur formatnya, Trimakasih... cara convert pdf to word agar formatnya tidak berubah.
Cara convert Pdf ke Word Agar formatnya tidak berubah
Cara convert Pdf ke Word Agar formatnya tidak berubah
PRAKTEK
KONSERVASI DALAM BUDIDAYA KOPI ROBUSTA
DAN
KEUNTUNGAN PETANI<![if !supportFootnotes]>[1]<![endif]>
Suseno Budidarsono dan
Kusuma Wijaya
World Agroforestry
Centre - ICRAF SE Asia, PO Box 161,
Bogor 16001
ABSTRACT
From an environmental
perspective, multistrata coffee (and shaded coffee) lead are to be preferred
over coffee monoculture, as they protect biodiversity as well as protecting
soil on sloping land through the litter layer and the root systems. A recent study on international coffee market
draws the conclusion that the market is willing to offer premium price to
coffee beans that are produced in environmentally friendly systems.
Using the Policy Analysis
Matrix methodology this paper aims to understand :(i) how best multistrata
coffee can provide incentives to smallholder coffee producers, (ii) what are
the returns to land of this kind of land use system, and (iii) are there any
strategic advantages embedded in the system that can be used by policy makers
in dealing with the coffee cultivation within conflictsensitive areas such as
state forestland, as it has been occurring in Sumberjaya.
<![if !vml]>
<![endif]>
The study concludes that at proces that reflect long term means, multistrata system are financially and economically viable and also generate sustainable employment opportunity in rural area with better returns to labor than coffee monocultures. The strategic adventage of multistrata coffee system is that these land use systems can be offered as an alternative land use practices in land conflict resolution that is rooted in misperception of the state forest land utilization.
The study concludes that at proces that reflect long term means, multistrata system are financially and economically viable and also generate sustainable employment opportunity in rural area with better returns to labor than coffee monocultures. The strategic adventage of multistrata coffee system is that these land use systems can be offered as an alternative land use practices in land conflict resolution that is rooted in misperception of the state forest land utilization.
Keywords : Multistrata coffee; Profitability; Returns to
Land;
Returns to Labor; Cost of
Establishment
ABSTRAK
Kajian -kajian tentang manfaat ekologi dari budidaya kopi
multistrata mengarah pada kesimpulan bahwa budidaya kopi multistrata memiliki
fungsi konservasi terhadap keragaman hayati dan juga mampu menekan erosi
sampai pada tingkat yang dapat diterima.
Sementara itu pasar kopi
internasional menawarkan harga premium untuk komoditas kopi yang dihasilkan
dari sistem budidaya kopi yang ramah
lingkungan.
Dengan menggunakan kerangka analisis Matrix
Analisis Kebijakan atau Policy Analysis
Matrix (PAM), kajian ini mencoba untuk mengetahui (i) seberapa besar kopi
multistrata mampu memberikan insentif bagi petani, (ii) seberapa besar
profitabilitas lahan yang dihasilkan, dan (iii) adakah keunggulan srategis yang
melekat dalam budidaya ini yang dapat memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang budidaya kopi multistrata sebagai landasan dalam penentuan kebijakan
dalam penanganan masalah budidaya kopi di kawasan rawan konflik lahan, seperti
di Sumberjaya.
Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa praktek budidaya kopi
multistrata di Sumberjaya secara
finansial dan ekonomis ternyata mampu memberikan keuntungan bagi petani dan
sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan secara
berkelanjutan. Nilai strategis dari
budidaya kopi multistrata adalah bahwa penggunaan lahan ini bisa digunakan
sebagai pilihan dalam penyelesaian konflik lahan yang berakar pada perbedaan
persepsi atas pemanfatan kawasan hutan.
<![if !vml]><![endif]>
Kata kunci : Kopi multistrata; Profitabilitas; Returns to Land; Returns to Labor; Biaya Investasi (Cost of Establishment)
PENDAHULUAN
Praktek budidaya kopi multistrata (mixed/ shaded coffee atau agroforestri
kopi) yang dipercaya dapat memenuhi kepentingan ekonomi dan ekologi pada saat
yang sama, baru menjadi wacana sejak dua
dasa warsa belakangan ini. Padahal budidaya kopi multi-strata sudah lama
dipraktekkan oleh para petani kopi tradisional di berbagai belahan dunia, termasuk di antaranya di Sumberjaya – kawasan
hulu daerah aliran sungai (DAS) Tulang Bawang, propinsi Lampung, Pulau
Sumatra.
Kajian tentang manfaat ekologi
dari budidaya kopi multistrata mengarah pada kesimpulan bahwa budidaya kopi
multistrata memiliki fungsi konservasi terhadap keragaman hayati (Faminow dan
Rodriguez, 2001; Soto-Pinto et al., 2000;
Perfecto dan Armbrect, 2003), dan mampu
menekan erosi sampai pada tingkat
yang dapat diterima (Arsyad, 1977;
Ginting, 1982; Afandi et al.,
1999 dan Hartobudoyo, 1979). Perkembangan pasar kopi internasional menunjukkan
bahwa komoditas kopi yang dihasilkan
oleh budidaya kopi yang ramah lingkungan
tersebut, yang oleh Giovanucci (2003) disebut sebagai salah satu jenis ‘Sustainable Coffee’, berpeluang untuk
mendapatkan harga premium. Panos
Varangis, Lead Economist pada Bank
Dunia lebih jauh menegaskan:
“Coffee is arguably one of the world’s most important cash crops and is
vital to the livelihood of more than 25 million small coffee farmers. Sustainable coffees can provide such benefits
as improved natural resource management; fewer agrochemicals used in
production, which decreases costs and health risks; and increased use of rural
labour, which provides more jobs for those in desperate need.”<![if !supportFootnotes]>[2]<![endif]>
Tulisan ini mencoba
untuk memberikan sisi pandang finansial dan ekonomi dari praktek budidaya kopi
multistrata di Sumberjaya. Persoalan
yang diangkat adalah apakah kopi multistrata mampu memberikan imbalan yang
lebih baik bagi petani dan berapa besar profitabilitas lahan yang mampu
dihasilkan? Pemahaman ini penting untuk mengetahui seberapa besar insentif yang
mampu diberikan oleh budidaya kopi multistrata kepada petani. Untuk kepentingan kebijakan publik, kajian
ini memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang budidaya kopi multistrata sebagai landasan dalam penentuan kebijakan.
METODOLOGI
Kerangka
Analisis: Matrix Analisis Kebijakan Kerangka analisis yang digunakan dalam
kajian profitabilitas ini adalah Matrix Analisis Kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM) yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1995). Sebagai alat analisis, PAM merupakan matrix
informasi tentang kebijakan pertanian/ sumberdaya alam dan ketidaksempurnaan
pasar dari faktor domestik terkait.
Matrik ini disusun dengan membandingkan neraca sistem usaha tani atau
penggunaan lahan yang dihitung dengan harga finansial (berdasarkan harga aktual
pasar lokal) di satu sisi dan neraca
yang dihitung dengan estimasi harga ekonomisnya atau harga sosial (yang
mencermikan effisiensi penggunaan sumberdaya) di sisi yang lain.Secara
sederhana kerangka Matrix Analisis Kebijakan disajikan dalam Tabel 1
Matrix ini terdiri dari dua set perhitungan. Pertama, perhitungan profitabilitas (kemampuan menciptakan keuntungan) usaha tani atau
pemanfaatan sumberdaya alam; seperti tergambar secara horizontal, di mana
tingkat keuntungan dapat dilihat pada kolom paling kanan yang merupakan selisih
dari penerimaan (kolom paling kiri) dan pengeluaran/ biaya (kolom-kolom di
tengah). Ada dua perhitungan
profitabilitas, yaitu profitabilitas finansial atau privat dan profitabilitas
ekonomis atau sosial. Profitabilitas finansial atau profitabilitas privat yang mengacu pada penerimaan dan pengeluaran aktual,
menunjukkan daya saing dari suatu sistem
usaha tani pada tingkat teknologi dan dalam lingkungan kebijakan tertentu. Sedangkan profitabilias ekonomis/sosial,
seperti terlihat di baris kedua dalam
Tabel 1, adalah perhitungan untung-rugi dengan menggunakan hargaharga
ekonomis/sosial yang mencerminkan keunggulan komparatif atau tingkat effisiensi
dari suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan. Nilai hasil usaha tani atau output (E) dan nilai asupan pertanian
(F), mengacu pada harga-harga internasional (dalam hal ini harga c.i.f untuk barang dan jasa yang
diimpor, dan harga f.o.b untuk barang dan jasa yang diekspor) yang sudah
terbebas dari berbagai kebijakan perdagangan seperti pajak, subsidi dan
tarif. Nilai faktor domestik (G) berupa
modal, tenaga kerja dan lahan yang digunakan dalam suatu sistem usaha tani/
penggunaan lahan, didekati dengan menduga nilai pengorbanan atas penggunaan
sumberdaya tersebut.
Kedua,
effect of divergence, yaitu selisih antara hasil
perhitungan dengan menggunakan harga finansial dan hasil perhitungan dengan
menggunakan harga ekonomisnya, guna melihat derajat perbedaan sebagai akibat dari adanya
kebijakan pemerintah dan/ atau ketidak-sempurnaan pasar. Perhitungan
effect of divergences terlihat pada baris ketiga dalam Tabel
1. Meskipun baris ketiga ini hanya
melihat selisih antara perhitungan profitabilitas finansial dan perhitungan
ekonomis atas penerimaan, biaya dan keuntungan, baris ini merupakan inti dari pendekatan
Matrix Analisis Kebijakan. Setiap
perbedaan yang muncul, yaitu selisih
hasil perhitungan harga finansial dan harga ekonomisnya, memberikan indikasi adanya dampak kebijakan atau kegagalan pasar
dalam satu sistem ekonomi.
Parameter
Tiga parameter utama yang dianalisis dalam
kajian ini adalah (a) profitabilitas, yaitu kemampuan memberikan keuntungan
dengan mengarahkan perhatian kepada returns
to land (profitabilitas lahan) dan returns
to labour (penerimaan per hari orang kerja/HOK); (b) biaya investasi (cost of establishment); dan (c)
kebutuhan tenaga kerja.
Profitabilitas diukur dengan menggunakan Net Present Value (NPV) 3, yaitu selisih antara nilai sekarang dari
manfaat/penerimaan dan nilai sekarang dari biaya yang dikeluarkan selama kurun
waktu tertentu pada tingkat bunga yang ditentukan (Gitinger, 1982 p. 319). Dalam hal ini NPV diukur baik pada harga finansial maupun harga
ekonomisnya. Nilai positif NPV dari satu
kegiatan investasi menunjukkan bahwa kegiatan tersebut cukup menguntungkan.
Perhitungan NPV dengan menggunakan harga-harga ekonomi (profitabilitas
ekonomis), yaitu harga barang dan jasa yang mencerminkan pengorbanan dan nilai
paling effisien, menghasilkan parameter profitabilitas
potensial yang menjadi perhatian para pengambil keputusan atau masyarakat luas.
NPV yang dihitung dengan nilai ekonomi, merupakan indikator besarnya
returns to land atau profitabilitas
lahan (Vosti et al., 1998 : 12).
Tabel
1. Matrix Analisis Kebijakan
<![if !vml]><![endif]>Biaya
Pener Trada Pro imaan ble Faktor
fit
Domestik
Inputs
Harga finansial/ privat
|
A
|
B
|
C
|
D1
|
Harga ekonomis/ social
|
E
|
F
|
G
|
H2
|
Effect of
divergences dan efficient
policy
|
J4
|
K5
|
L6
|
Sumber: Monke dan Pearson (1995, p.19) Keterangan :
<![if !supportLists]>1 <![endif]>Keuntungan
finansial/privat (D=A-B-C)
<![if !supportLists]>2 <![endif]>Keuntungan
ekonomis/potensial/social (H=E-F-C)
<![if !supportLists]>3 <![endif]>Output
transfer (I=A-E) 4 Input transfer
(J=B-F)
<![if !supportLists]>5 <![endif]>Factor
transfer (K=C-G)
<![if !supportLists]>6 <![endif]>Net transfer
(L=D- H atau L=I-J-K)
Ratio Indicators untuk membandingkan sistem yang berbeda
Private cost ratio (PCR):
C/(A – B)
Domestic resource cost ratio
(DRC): G/(E – F)
Nominal protection
coefficient (NPC) on tradable outputs (NPCO): A/E on tradable inputs (NPCI):
B/F
Effective protection
coefficient (EPC): (A– B)/
(E – F)
Koefisien
profitabilitas (PC): (A–B–C)/(E–F–G) or
D/H
Rasio subsidi untuk produser
(SRP): L/E or (D –
H)/E
Sementara itu, returns
to labour (penerimaan upah HOK-1) dihitung dengan cara
mengubah ‘surplus’ yang ada menjadi upah perhari orang kerja (Vosti et
al., 1998 : 13). Secara tekhnis
perhitungan dilakukan dengan mengubah tingkat upah dalam neraca usaha tani
sedemikian rupa sehingga NPV = 0. Returns
to labour yang dihitung dengan harga finansial merupakan indikator insentif
produksi bagi petani, yaitu mengukur seberapa besar insentif yang mampu
diberikan oleh satu sistem usaha tani bagi petani dalam berproduksi.
Berkenan dengan biaya investasi (cost of establishment), analisis diarahkan kepada aliran uang kas (cashflow), yaitu besarnya pengeluaran
dan penerimaan dalam kurun waktu
analisis (25 tahun). Yang dimaksudkan dengan biaya investasi di sini
adalah nilai sekarang dari jumlah seluruh pengeluaran sampai pada saat sistem
memberikan selisih positif pada aliran uang kas (Vosti et al., 1998 : 14).
Kebutuhan data dan Asumsi
Komponen pokok dari Matrix Analisis
Kebijakan adalah perhitungan untung-rugi atau neraca usaha tani/ penggunaan
sumberdaya alam. Oleh karena itu data
dan informasi untuk penyusunan neraca usaha tani mutlak harus tersedia. Data
dan informasi yang diperlukan mencakup : asupan usaha tani baik sarana produksi maupun tenaga kerja dan modal
sesuai dengan tingkat teknologi yang digunakan, tingkat produksi usaha
tani, harga-harga dari komoditas
pertanian terkait, harga-harga sarana produksi,
tingkat upah tenaga kerja, dan tingkat bunga yang mencerminkan biaya
atas modal yang digunakan. Ada dua macam
informasi harga, upah dan tingkat bunga yang diperlukan dalam amalisis ini. Pertama, harga-harga dari komoditas yang dihasilkan, tingkat upah
dan tingkat bunga di pasar lokal;
benar-benar mencerminkan
penerimaan dan pengeluaran aktual dalam
sistem usaha tani yang bersangkutan.
Kedua, harga-harga ekonomis dari
komoditas pertanian dan asupan pertanian terkait, seperti telah
disinggung di atas.
Mengingat bahwa investasi budidaya kopi adalah investasi
jangka panjang (lebih dari 15 tahun),
maka kurun waktu analisis dalam kajian ini adalah 25 tahun dimulai dari
permulaan budidaya kopi (tahun nol). Sehubungan dengan hal itu
analisis finansial dan ekonomi atasnya tidak bisa menggunakan data satu
tahun saja. Data tentang
harga-harga yang digunakan untuk
menyusun neraca usaha tani dalam analisis ini adalah rata-rata harga nyata sepuluh tahun tarakhir,
yaitu sampai dengan tahun 2000. Dengan
demikian efek fluktuasi harga sudah dapat dikurangi dalam dalam penyusunan
neraca usaha tani.
Asumsi-asumsi yang dipertimbangkan dalam kajian ini adalah
sebagai berikut. Pertama, keadaan tahun nol dari lahan budidaya kopi yang
menjadi target analisis adalah sisa tebangan hutan sekunder berupa semak dan
atau padang alang-alang, sehingga tidak
ada hasil sampingan pada saat persiapan lahan.
Kedua, asumsi keadaan makro ekonomi menggunakan data keadaan tahun 2000,
yaitu tingkat upah nyata pertanian Rp 8,000 per hari orang kerja (HOK), nilai tukar Rupiah adalah Rp 8,421 untuk
setiap US $ 1, dan tingkat bunga nyata
yang diguna-kan adalah 15% per tahun untuk perhitungan pada harga finansial dan
10% per tahun untuk tingkat bunga nyata pada harga sosial <![if !supportFootnotes]>[4]<![endif]>.
Sejarah budidaya kopi di Sumberjaya
Sumberjaya adalah nama sebuah kecamatan di
wilayah Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, yang pada tahun 2000
dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu, Kecamatan Sumberjaya dan Kecamatan Way
Tenong. Dalam tulisan ini daerah
Sumberjaya mengacu pada keadaan sebelum tahun 2000, yaitu terdiri atas 28 desa
dengan total luas wilayah 54.194 hektar atau 10,9% dari total luas
Kabupaten Lampung Barat. Wilayah yang
berpenduduk mendekati 90,000 (pada tahun 2000) merupakan daerah produsen kopi
robusta. Sebagian besar penduduk bekerja
pada sektor pertanian, terutama bercocok tanam kopi dan kebun campuran. Sumbangan
budidaya kopi terhadap kegiatan ekonomi penduduk tidak terbatas pada hasil
produksi kopi semata, akan tetapi juga terbukanya lapangan pekerjaan di sektor
perdagangan dan jasa (pengangkutan).
Budidaya kopi di
Sumberjaya mengalami perkembangan pesat
pada dekade 70an dan 80an. Analysis terhadap perubahan penggunan lahan,
menunjukkan bahwa luas kawasan berhutan di daerah itu menurun cukup tajam pada dua dekade tersebut, yaitu dari 60% pada
tahun 1970 menjadi 13% pada tahun 1990 (Ekadinata, 2002). Yang menarik adalah bahwa penurunan luas kawasan
berhutan tersebut diiringi oleh perluasan kebun kopi, bahkan di dalam kawasan
hutan lindung dan taman nasional.
Selain itu, perluasan kebun kopi
tersebut berlangsung seiring dengan
membaiknya harga kopi dunia pada waktu itu5. Seolah ada hubungan
antara membaiknya harga kopi dunia dengan perluasan kebun kopi di Sumberjaya.
Budidaya kopi di Sumberjaya yang kebanyakan dilakukan oleh
keluarga petani dengan skala kecil (kurang dari 3 ha), dimulai dari cara
tradisional dengan praktek peladangan berpindah oleh para perintis etnis
Semendo dari Sumatra Selatan, lebih dari satu abad yang lalu. Huitema (1935,
dikutip Verbist 2000) menulis bahwa pada tahun 1880, komoditas kopi sudah
dikenal<![if !supportFootnotes]>[5]<![endif]>di
daerah ini.Bahkan salah satu desa tertua di Sumberjaya, Desa Sukajaya, adalah desa pertama di Sumberjaya yang
dibangun oleh para pendatang etnis Semendo pada tahun 1891.
Pada awalnya para perintis tersebut mengubah hutan menjadi
kebun kopi dengan cara tebas bakar. Pengelolaan kebun kopi dengan asupan rendah
dilakukan hanya oleh tenaga kerja keluarga terbatas pada pemeliharaan tanaman
kopi pada fase pertumbuhan. Mereka biasanya akan membuka kebun kopi yang baru
pada saat kebun kopi yang ada sudah
melewati masa ngagung<![if !supportFootnotes]>[6]<![endif]>
atau kebun kopi sudah berkurang hasilnya.
Jenis kopi yang dibudidayakan
saat itu adalah jenis Arabica dan Liberia.
Akan tetapi, karena serangan hama karat daun (blast diseases) atau Hemelia
vastarix yang menghancurkan perkebunan kopi di seluruh Indonesia<![if !supportFootnotes]>[7]<![endif]>,
sejak tahun 1911, jenis Robusta
yang dipercaya lebih tahan terhadap serangan hama penyakit
dari pada jenis Arabica, mulai
menggantikan kedua jenis sebelumnya (Huitema, 1935).
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan pola budidaya
kopi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk migran dari Jawa
dan tempat-tempat lain di Provinsi Lampung, di daerah ini. Pada tahun 1920an dengan masuknya tenaga
kerja wanita suku Jawa untuk pemeliharaan kebun kopi, para perintis budidaya
kopi di Sumberjaya terdorong untuk memperluas kebun kopi dengan membuka hutan
di Sumberjaya (Benoit et al.,
1989). Pada awal tahun 1950an Sumberjaya menjadi daerah target program
transmigrasi dari Biro Rekonstruksi
Nasional yang memindahkan veteran perang
kemerdekaan dari Jawa Barat (Kusworo, 2000).
Pemindahan veteran perang ini kemudian diikuti oleh gelombang migrasi
spontan dari Jawa dan daerah lain di dan sekitar propinsi Lampung. Para veteran perang dan para migran spontan
tersebut memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perluasan perkebunan
kopi rakyat dan pengembangan tekhnologi budidaya kopi di daerah ini. Seperti misalnya, tekhnik bercocok tanam kopi
yang lebih permanen dengan cara pengelolaan tanah yang lebih baik (pengendalian
gulma dan pemupukan) dan pemeliharaan tanaman kopi (pemangkasan, potong tunas
dan lain sebagainya).
Perkembangan lain yang perlu dicatat adalah adanya
kecenderungan untuk meningkatkan produtivitas per unit lahan dengan peningkatan
intensitas pengelolaan lahan, khususnya
setelah masuknya para migran suku Jawa.
Misalnya : upaya konservasi tanah dengan pembuatan rorak, lubang angin maupun gulud; praktek berkebun campuran di kebun kopi
dengan menanami berbagai tanaman tahunan
(baik kayu ataupun buah-buahan) sebagai tanaman pelindung kopi; dan
upaya peningkatan produksi kopi dengan cara memperbaiki varietas tanaman kopi
melalui okulasi. Praktek-praktek
tersebut selain diadopsi dari praktek pengelolaan kebun di Jawa juga
dipengaruhi petugas penyuluh lapangan dari Dinas Perkebunan dan pelaksanaan program reboisasi dan penghijauan
oleh dinas terkait.
Perambahan kawasan hutan lindung dan taman nasional untuk
budidaya kopi juga mewarnai perkembangan budidaya kopi di Sumberjaya, dan
menimbulkan masalah sosial yang serius.
Upaya penyelesaian secara tuntas sulit dilakukan, bahkan upaya yang pernah dilakukan pun
membuahkan persoalan baru (Kusworo, 2000;
Budidarsono et al., 2000:
1-2). Usaha-usaha untuk mencegah
perluasan kebun kopi ke kawasan hutan negara pernah dilakukan melalui program
penghutanan kembali. Usaha ini tidak saja membuahkan perlawanan masyarakat dan
menyengsarakan penduduk<![if !supportFootnotes]>[8]<![endif]>,
akan tetapi lebih dari itu, usaha tersebut tidak mengurangi minat petani petani
untuk tetap bercocok tanam kopi di kawasan ini. Pengalaman menunjukkan bahwa
daya tarik budidaya kopi di Sumberjaya jauh lebih kuat dibandingkan dengan
usaha-usaha pemerintah untuk mencegah perluasan kebun kopi ke dalam kawasan
hutan lindung. Seperti ternyata dalam
krisis ekonomi antara 1998 – 2000 yang lalu, perambahan hutan untuk budidaya
kopi kembali meluas dan hutan lindung yang sudah dihutankan kembali pun dibuka
lagi untuk kebun kopi.
Penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No.31/Kpts-II/2001 tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan
terobosan untuk menjawab persoalan pelik di atas. Surat Keputusan tersebut memberikan
peluang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan negara bagi masyarakat
guna pemberdayakan kehidupan mereka
tanpa mengganggu fungsi pokoknya.
Melalui skema HKm, kegiatan pengelolan hutan negara diarahkan untuk
mengoptimalkan manfaat hutan bagi kesejahteraan masyarakat secara luas melalui
pemanfaatan lahan, jasa lingkungan, dan
ekstraksi hasil kayu dan non kayu. Seiring dengan itu, mereka yang memperoleh manfaat dalam skema
HKm, diwajibkan untuk menjaga, memperbaiki dan mempertahankan fungsi hutan
lindung dengan menerapkan praktek konservasi dalam pemanfaatan kawasan hutan.
Tipologi Budidaya Kopi
Praktek budidaya kopi di Sumberjaya sangat
beragam. Secara umum budidaya kopi di wilayah ini dapat dikelompokkan
berdasarkan tiga kategori : (a) kompleksitas struktur vegetasi, (b) intensitas pengelolaan kebun, dan (c) status
penguasaan lahan (Budidarsono et al., 2000).
Berdasarkan
struktur vegetasinya, budidaya kopi di
Sumberjaya bervariasi di antara dua kutub :
kebun kopi monokultur (tanpa naungan) dan kebun kopi multistrata dengan
struktur vegetasi yang cukup komplek.
Kompleksitas tanaman non kopi dalam kebun kopi multistrata bisa
bervariasi dalam hal jumlah dan jenisnya;
baik yang berada pada strata di atas tanaman utama (kopi), maupun
tanaman yang ada di bawah tanaman utama.
Dari hasil pengamatan Wulan (2002)
terhadap 19 kebun kopi multistrata di Sumberjaya<![if !supportFootnotes]>[9]<![endif]> ,
tercatat 66 jenis tumbuhan bernilai
ekonomi (Periksa Lampiran 1). Keragaman
tumbuhan komersial per plot amatan bervariasi antara 10 dan 32 jenis. Berdasarkan pengamatan tersebut, Kuncoro dan
Budidarsono (2003), dalam analisis ekonomi kebun kopi multistrata,
mengelompokkan kebun kopi dengan naungan menjadi tiga kelompok besar : (a) kebun kopi dengan naungan pohon
buahbuahan, (b) kebun kopi dengan naungan pohon kayukayuan dan (c) kebun kopi
dengan naungan biasa (pohon dadap atau kayu hujan). Setiap kelompok masih dapat
dibedakan lagi : dengan atau tanpa tanaman komersial di bawah tanaman kopi,
seperti jahe, nanas, kapulogo dan lain sebagainya.
Berdasarkan intensitas pengelolaan kebun, budidaya kopi di
Sumberjaya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola : (a) pionir - tradisional,
(b) semi initensif atau intensitas pengelolaan sedang dan (c) intensif atau
intensitas pengelolaan tinggi. Sistem pionir - tradisional adalah budidaya
kopi yang di terapkan oleh para perintis kopi di Sumberjaya dahulu,
<![if !vml]><![endif]>
yaitu dengan intensitas pengelolaan rendah
dan siklus budidaya relatif pendek
(sembilan tahun). Budidaya kopi
dengan sistem semi intensif biasanya
bercirikan penggunaan asupan eksternal rendah sampai dengan sedang (pemupukan
Urea dan TSP bervariasi antara 200 – 400 kg ha-1), pemeliharaan kebun
(koret, pembuatan gulud dan/atau rorak) dan perawatan pohon kopi (pembersihan tunas dan pemangkasan
batang) dilakukan dengan intensitas sedang, usia kebun kopi diusahakan sepanjang mungkin, dan walaupun
tidak selalu ada, beberapa menerapkan
penggunaan naungan. Bentuk yang terakhir, intensif,
yaitu pengelolaan budidaya kopi dengan intensitas tinggi, dicirikan oleh
penggunaan asupan eksternal yang relatif tinggi (campuran pupuk N dan P antara
800 dan 1000 kg per ha ), pemeliharaan kebun dan pohon dilakukan secara
intensif, termasuk grafting.
Berdasarkan status penguasaan lahan untuk budidaya kopi,
pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua :
budidaya kopi di atas lahan milik sendiri dan budidaya di atas kawasan
hutan negara. Baik sebelum maupun sesudah ada skema HKm, pembedaan ini memiliki
konsekuensi finansial yang berarti bagi petani. Sebelum ada skema HKm, walaupun
tidak ada mekanisme pembayaran yang jelas, mereka yang membudidayakan kopi di
kawasan hutan negara wajib menyisihkan sejumlah uang untuk diserahkan kepada
aparat terkait<![if !supportFootnotes]>[10]<![endif]>. Sedangkan dalam skema HKm, mereka yang
memanfaatkan kawasan hutan untuk budidaya kopi, wajib melakukan kegiatan
konservasi, antara lain melakukan penanaman pohon (baik buah-uahan ataupun
kayu) sesuai dengan arahan pihak kehutanan dan kesepakatan kelompok.
Berdasarkan pembedaan jenis budidaya kopi di atas terdapat
42 kemungkinan jenis budidaya kopi di
Sumberjaya. Untuk kepentingan analisis ini, perhatian akan diarahkan kepada
beberapa contoh budidaya kopi yang biasa dilakukan petani, yaitu : dua jenis budidaya kopi monokultur di dalam kawasan hutan negara dan tiga jenis
budidaya kopi dengan naungan dengan
intensitas pengelolaan sedang
(masing-masing dibedakan menjadi dua yaitu dengan dan tanpa tanaman
komersial di bawah tanaman kopi).
Intensitas pengelolaan sedang sengaja dipilih karena rejim pengelolaan ini yang
paling banyak diterapkan oleh petani di Sumberjaya, utama-nya disebabkan oleh
<![if !vml]><![endif]>
Tabel
2. Budidaya Kopi yang menjadi target
analisis dan asumsi pengelolaan.
<![if !vml]><![endif]>
Jenis Budidaya Struktur Rejim
Kopi Vegetasi Pengelolaan
<![if !vml]><![endif]>
1. Kopi Monokultur di dalam
kawasan hutan
a. pionir – Mono-
|
rendah; tidak
|
tradisional kultur
|
dipupuk
|
b. semi intensif Mono-
|
sedang; pupuk
|
kultur
2. Kopi dengan naungan
sederhana
|
200 kg ha-1 mulai
tahun ketujuh
|
a. dengan tanaman Kom
|
sedang; pupuk
|
komersial pada -plek
|
200 kg ha-1 mulai
|
strata bawah
|
tahun ketujuh
|
b. tanpa Seder-
|
sedang; pupuk
|
tanaman komersial hana
|
pada 200 kg ha-1
|
strata bawah
|
mulai tahun ketujuh
|
<![if !supportLists]>3. <![endif]>Kopi
Multistrata dengan pohon buah-buahan
a. dengan tanaman
|
Komplek
|
sedang; pupuk
|
komersial pada
|
|
200 kg ha-1mulai
|
strata bawah
|
|
tahun ketujuh
|
b. tanpa tanaman
|
Kom-
|
sedang; pupuk
|
komersial pada
|
plek
|
200 kg ha-1mulai
|
strata bawah
|
|
tahun ketujuh
|
<![if !supportLists]>4. <![endif]>Kopi
Multistrata dengan pohon buah-buahan
a. dengan tanaman
|
Kom-
|
sedang; pupuk
|
komersial pada
|
plek
|
200 kg ha-1mulai
|
strata bawah
|
|
tahun ketujuh
|
b. tanpa tanaman
|
Kom-
|
sedang; pupuk
|
komersial pada
|
plek
|
200 kg ha-1mulai
|
strata bawah
|
|
tahun ketujuh
|
<![if !vml]><![endif]>
harga kopi yang cenderung rendah, dan harga pupuk yang cenderung meningkat. Tabel 2
berikut menyajikan rincian budidaya kopi yang menjadi target analisis tulisan
ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keuntungan,
Investasi dan Penyerapan Tenaga
Kerja
Tabel
3 menyajikan hasil perhitungan profitabilitas dari beberapa budidaya
kopi di Sumberjaya. Angka-angka dalam
Tabel 3 menunjukkan bahwa pola budidaya kopi
multistrata jauh lebih menguntungkan dibandingkan pola monokultur. Seperti terlihat dalam tabel, semua jenis budidaya
kopi multistrata menghasilkan NPV positif.
Sedangkan budidaya kopi monokultur menghasilkan nilai NPV negatif untuk
pola pionir-tradisional. Perlu
digaris-bawahi bahwa NPV negatif tidak selalu berarti bahwa sistem tersebut
tidak memberikan penerimaan bagi petani.
NPV negatif memberikan petunjuk bahwa sumberdaya yang digunakan (lahan,
tenaga kerja dan modal) akan lebih
menguntungkan untuk melakukan kegiatan yang lain.
Jika profitabilitas lahan dengan harga sosial dipakai
sebagai indikator profitabilitas
potensial dalam perspektif para pengambil keputusan, maka berdasarkan skenario produksi selama 25 tahun, kopi naungan berpotensi
memberikan keuntungan bersih bervariasi antara Rp. 7,5 juta (kopi naungan
sederhana tanpa tanaman komersial pada strata bawah) sampai dengan Rp. 33.5
juta (kopi multistrata berbasis buahbuahan dengan tanaman komersial pada strata
bawah). Secara finansial kemampuan memberikan keuntungan dakhil (IRR) dari
budidaya kopi multistrata berkisar antara 21.4% dan 36.5%; relatif lebih besar
dari pada tingkat bunga resmi pada tahun 2000.
Hasil perhitungan penerimaan per HOK (returns to labour) yang merupakan indikator besarnya insentif yang
bisa disediakan oleh suatu sistem usaha tani, menunjukkan bahwa budidaya kopi
multistrata mampu memberikan returns to
labour yang relatif lebih besar dari pada tingkat upah rata –
rata kegiatan pertanian di Sumberjaya (dalam hal ini Rp. 8.000 HOK-1). Ini berimplikasi pada dua hal. Pertama, budidaya multistrata bisa menjadi
agen untuk memperbaiki dan mempertahankan kawasan lindung yang sekaligus
memperbaiki kehidupan petani.
Kedua, sistem usaha tani yang
memiliki insentif yang tinggi cenderung
menjadi daya tarik bagi penduduk di sekitarnya, yang pada gilirannya akan
mengancam daya dukung wilayah karena meningkatnya tekanan penduduk. Hal kedua ini, sampai derajat tertentu,
sudah terjadi di wilayah Sumberjaya sejak dua dasa warsa belakangan.
Dari perhitungan
aliran uang kas (cashflow), kopi multistrata menghasilkan positif cashflow lebih cepat (pada tahun keempat) dari pada
budidaya kopi monokultur di dalam kawasan hutan (positif cashflow baru terjadi pada tahun kelima). Ini berimplikasi pada besarnya biaya investasi dan jumlah tenaga kerja yang
diperlukan pada tahap establishment. Seperti terlihat dalam Tabel 4, besarnya
biaya investasi (cost of establishment)
dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk budidaya kopi monokultur relatif lebih
besar dari pada budidaya multistrata.
Dari segi investasi yang harus ditanam, nilai investasi sebesar Rp. 7 juta ha-1 dan
direalisasikan selama empat tahun, nampaknya bukan merupakan jumlah yang
terlalu besar bagi petani. Apalagi jika dicermati dengan seksama, sebagian
besar investasi adalah dalam bentuk upah tenaga kerja yang biasanya merupakan
tenaga kerja keluarga. Dengan demikian,
sebenarnya pengeluaran nyata sudah
barang tentu
Tabel 3. Profitabilitas budidaya kopi : monokultur
dan multistrata.
|
|
Profitabilitas lahan
|
Penerimaan
|
IRR
|
|
|
(Returns to land)
|
per HOK)
|
dalam
|
|
|
|
(Returns
|
harga
|
|
|
harga finansial harga
lsosial
|
to Labour)
|
financial
|
|
|
Rp. 000
|
Rp. 000
|
Rp.
|
(%)
|
1. Kopi Monokultur di dalam
kawasan hutan
a. pionir
– tradisional
|
(1,881)
|
(541)
|
6,176
|
4.9
|
b. semi intensif
|
24
|
5,730
|
8,016
|
15.1
|
2. Kopi dengan naungan sederhana
a. dengan tanaman komersial pada strata
bawah
|
6,994
|
15,684
|
13,501
|
31.8
|
b. tanpa tanaman komersial pada strata bawah
|
2,443
|
7,485
|
9,927
|
21.4
|
3. Kopi Multistrata dengan pohon
buah-buahan
a. dengan tanaman komersial pada strata
bawah
|
15,342
|
33,510
|
18,771
|
36.5
|
b. tanpa tanaman komersial pada strata bawah
|
10,853
|
25,476
|
15,683
|
29.3
|
4. Kopi Multistrata dengan pohon
kayu-kayuan
a. dengan tanaman komersial pada strata
bawah
|
7,496
|
15,981
|
13,924
|
32.2
|
b. tanpa tanaman komersial pada strata bawah
|
3,501
|
9,329
|
8,933
|
23.3
|
Sumber : Perhitungan penulis
lebih kecil dari jumlah itu. Dibandingkan
dengan besarnya anggaran biaya yang disediakan pemerintah untuk penghutanan
kembali (reboisasi), yaitu Rp 5 juta per hektar (wawancara dengan Kepala Dinas
Kehutanan Lapung Barat), nilai investasi
budidaya kopi multistrata memang lebih besar.
Akan tetapi, nilai investasi budidaya kopi multistrata memberikan
manfaat yang lebih besar dan bernilai strategis dalam kebijakan publik. Seperti diketahui bahwa budidaya kopi
multistrata memberikan manfaat langsung secara berkelanjutan bagi petani berupa
hasil-hasil pertanian dan tersedianya kesempatan kerja (107 -166 HOK ha-1 tahun-1).
Selain itu, fungsi hutan lindung seperti yang diharapkan masyarakat
banyak, dapat diperbaiki dan
dipertahankan melalui budidaya kopi multistrata tanpa harus disediakan anggaran
publik untuk program penghutanan kembali, karena investasi kopi multistrata
dilakukan oleh petani.
Menyangkut kebutuhan tenaga kerja, angkaangka jumlah tenaga kerja di dalam Tabel
4 memberikan indikasi bahwa intensitas kegiatan budidaya kopi pada tahap establishment cukup tinggi. Budidaya
kopi multistrata kerja adalah pada tahun
awal budidaya, yaitu sekitar 350 HOK per
hektar, baik untuk kopi monokultur maupun multistrata. Pada tahap operasional, budidaya kopi monokulutur dengan pengelolaan
semi intensif membutuhkan tenaga kerja paling besar (184 HOK ha-1tahun-1)
di antara sistem lainnya, dan relatif lebih besar dari pada budidaya kopi
multistrata yang menyerap rata-rata 107 HOK ha-1 tahun-1. Perbedaan yang menonjol terletak pada jumlah
tenaga kerja untuk perawatan kebun (koret
dan pemupukan). Budidaya kopi monokultur, memperkerjakan rata – rata 69 HOK/ha/ tahun (pionirtradisional) dan 86
HOK ha-1 tahun-1 (semi intensif) untuk penyiangan
(koret). Sementara itu budidaya kopi multistrata hanya memerlukan 32 HOK ha-1 tahun-1.
Bertolak dari hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan
bahwa dengan kemampuan menyerap tenaga kerja sebesar 107 – 166 HOK ha-1tahun-1 dan dengan tingkat penerimaan upah per HOK
lebih besar dari upah pertanian rata-rata di wilayah ini, kopi multistrata
memberikan kontribusi yang berarti dalam
meningkatkan kesejahteraan penduduk di samping memperbaiki kondisi lahan di
dalam kawasan yang diharapkan memiliki fungsi lindung. Sementara itu kendala tenaga kerja yang
dihadapi petani kopi multistrata relatif lebih kecil dari pada kendala serupa bagi mereka yang melakukan budidaya kopi monokultur.
KESIMPULAN
Praktek budidaya kopi multistrata di
Sumberjaya yang dipercaya dapat memiliki fungsi lindung bagi daerah aliran
sungai, secara finansial ternyata mampu memberikan keuntungan bagi petani dan
sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan secara
berkelanjutan. Nilai strategis dari budidaya kopi multistrata adalah bahwa
pilihan penggunaan lahan ini bisa menjadi alat penyelesaian konflik lahan yang
berakar pada perbedaan persepsi atas penggunaan kawasan hutan.
Tabel 4.
Biaya investasi, positif
cashflow dan tenaga kerja.
<![if !vml]><![endif]>
Nilai
sekarang Tahun Jumlah tenaga kerja investasi terjadinya yang diperlukan
|
Jenis
kebun
|
(discounted cost
|
positive
|
Pada
tahap
|
Pada
tahap
|
|
|
of establishment)
|
cashflow
|
establishment
|
operasional
|
|
|
(Ribuan Rp ha-1)
|
Tahun ke:
|
(hok-1ha-1)
|
(hok ha-1thn-1)
|
|
1. Kopi Monokultur di dalam kawasan hutan
a. pionir – tradisional 9,004
|
5
|
1,043
|
120
|
||
b. semi intensif
|
9,187
|
5
|
1,050
|
184
|
|
2. Kopi dengan naungan sederhana
a. dengan tanaman komersial pada
|
6,997
|
4
|
871
|
107
|
|
strata bawah
b. tanpa tanaman komersial pada
|
7,003
|
4
|
871
|
107
|
|
strata bawah
3. Kopi Multistrata dengan pohon buah-buahan
a. dengan tanaman komersial 7,018
|
4
|
873
|
162
|
||
pada strata bawah
b. tanpa tanaman komersial 7,018
|
4
|
873
|
166
|
||
pada strata bawah
4. Kopi Multistrata dengan pohon kayu-kayuan
a. dengan tanaman komersial 6,988
|
4
|
870
|
107
|
||
pada strata bawah
b. tanpa
tanaman komersial pada strata bawah
|
6,988
|
4
|
870
|
107
|
|
Sumber : perhitungan penulis
DAFTAR PUSTAKA
Afandi T.; Rosadi, B.; Manik T.K.;
Senge M.; Oki Y. dan T. Adachi.
1999. In Ginting, C.; Gafur, A.; Susilo, F.X.; Salam, A.K.; Karyanto,
A.; Utomo, S. D.; Kamal, M.; Lumbanraja,
J. and Z. Abidin (eds.), ‘The dynamics
of soil water pressure under coffee tree with different weed management in a
hilly area of Lampung, Indonesia”..
Proceedings International Seminar Toward Sustainable Agriculture in
Humid Tropics Facing 21st Century. Bandar Lampung, Sept. 27-28,
1999. University of Lampung. pp. 387-394
Arsyad, S. 1977.
Pengawetan Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Benoit, D.; Pain, M.; Levang, P. and O.
Sevin. 1989. Transmigration et Sponteneous en Indone-sia/ Transmigration and
Spontaneous Migration in Indonesia : Propinsi Lampung. ORSTOM – Departemen Transmigrasi RI, Jakarta
Budidarsono, S.; Kuncoro, S. A. and T.P.
Tomich. 2000. A Profitability Assessment
of Robusta coffee system in Sumberjaya watershed, Lampung, Sumatra,
Indonesia. Southeast Asia Policy
Research Working Paper No 16. ICRAF SEA,
Bogor.
Ekadinata, A.P. 2002.
Deteksi perubahan lahan menggunakan citra satelit multisensor di
Sumber-jaya, Lampung. Skripsi S1, Jurusan Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institute Pertanian Bogor. Bogor.
Faminow, D.M. and E.A. Rodriguez. 2001.
Biodiversity of Flora and Fauna
in Shaded Coffee Systems. ICRAF – Latin
America Regional Ofice. Lima.
Giovanucci, D. 2003.
The State of Sustainable Coffee:
A study of twelve major market. Columbia: ICO.
Gintings, A. N. 1982.
Aliran Permukaan dan Erosi Tanah yang Tertutup Tanaman Kopi dan Hutan
Alam di Sumberjaya - Lampung Utara.
Laporan No. 399. Bogor, Balai
Peneli-tian Hutan
Gitinger, J.P. 1982.
Economic Analysis of Agricultural Projects. Second Edition. Baltimore, Johns Hopkin University Press.
Hartobudoyo, D. 1979.
Pemangkasan Kopi. Jember, Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Sub Balai
Penelitian Budidaya.
IBRD/The World Bank. 2003.
Global Economic Prospect 2004, Realizing the Develop-ment Promise of the
Doha Agenda. Washington DC.
Kuncoro, S. A. and S. Budidarsono. 2003. Improving Resilience trough diversity –
Analysis on shaded coffee system in Sumberjaya watershed, West Lampung,
Indonesia. Working Paper. ICRAF – SEA, Bogor
Kusworo, A. 2000.
Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di
Lampung. Bogor, Pustaka Latin. pp 101
Perfecto, I. dan I. Armbrecht. 2003.
‘The Coffee Agroecosystem in the Neotropics: Combining Ecological and
Economic Goals’.dalam
Vandermeer, J.H. (Ed) Tropical Agroecosystems, pp 159-194. Florida,
CRC Press
Soto-Pinto, L.; Perfecto I.; Castillo-Hernandez, J. and
J. Caballero-Nieto. 2000.
Shade Effect on Coffee Verbist, B.; Ekadinata, A.P. dan S. Budidarsono.
2004. Penyebab alih guna lahan dan akibatnya terhadap fungsi daerah aliran
sungai (DAS) pada lansekap agroforestri berbasis kopi di Sumatra. Agrivita 26
(1): 29-38.
Vosti, S.A.; Witcover, J.; Gockowski,
J.; Tomich, T.P.; Carpentier, C.L.; Faminow, M.; Oliveira, S. and C. Diaw. 2000.
Working Group on Economic and Social Indicators – Report on Methods for the ASN Best-Bet
Matrix.
Wulan, Y. C. 2002.
Penilaian manfaat ekonomi sistim kopi multistrata di Sumberjaya, Lampung
Barat. Skripsi S1 Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. pp
58.
Production at the Northen Tzeltzal
zone of the State of Chiapas, Mexico.
Agriculture Ecosystems and Environment: 80, 61-69.
No
|
Nama Lokal
|
Nama Ilmiah
|
Klas Strata
|
Frekuensi (%)
|
1
|
Dadap
|
Erythrina sububrams
|
D
|
89.5
|
2
|
Jarak
|
Ricinus communis
|
C
|
5.3%
|
3
|
Kihujan
|
Gliricidia sepium
|
C
|
84.2
|
4
|
Hamerang
|
Ficus fulva
|
C
|
26.3
|
5
|
Kayu
afrika
|
Maesopsis eminii
|
E
|
21.1
|
6
|
Murbei
|
Morus alba
|
D
|
5.3
|
7
|
Petai cina
|
Leucaena leucocephala
|
C
|
42.1
|
8
|
Teureup
|
Artocarpus elasticus
|
E
|
15.8
|
9
|
Tisuk
|
Hibiscus cannabinus
|
E
|
10.53
|
10
|
Waru
|
Hibiscus spp.
|
D
|
5.3
|
11
|
Bayur
|
Pterospermum spp.
|
E
|
5.3
|
12
|
Cemara
|
Cryptomeria japonica
|
E
|
5.3
|
13
|
Jati
|
Tectona grandis
|
E
|
10.5
|
14
|
Mahoni
|
Swietenia mahogani
|
E
|
15.8
|
15
|
Pasang
|
Quercus sundaica
|
E
|
21.1
|
16
|
Sawo
Manila
|
Manilkara zapota
|
E
|
21.1
|
17
|
Sengon
|
Paraserianthes falcataria
|
D
|
21.1
|
18
|
Trembesi
|
Samanea saman
|
D
|
5.3
|
19
|
Suren
|
Toona sureni
|
E
|
10.5
|
20
|
Tenam
|
Anisoptera spp.
|
E
|
5.3
|
21
|
Sonokeling
|
Dalbergia latifolia
|
D
|
42.1
|
22
|
Alpukat
|
Persea americana
|
D
|
73.7
|
23
|
Asam
|
Tamarindus indica
|
E
|
10.5
|
<![if !vml]>
<![endif]>
Tabel Lampiran: Tanaman komersial di dalam kebun kopi multistrata
Tabel Lampiran: Tanaman komersial di dalam kebun kopi multistrata
Tabel Lampiran: Tanaman komersial di dalam kebun kopi multistrata (lanjutan).
No
|
Nama Lokal
|
Nama Ilmiah
|
Klas Strata
|
Frekuensi (%)
|
24
|
Belimbing
|
Averrhoa bilimbi
|
C
|
5.3
|
25
|
Cempedak
|
Artocarpus integer
|
E
|
10.5
|
26
|
Duku
|
Lansium domesticum
|
E
|
15.8
|
27
|
Durian
|
Durio zibethinus
|
D
|
78.9
|
28
|
Jambu air
|
Syzygium aqueum
|
C
|
36.8
|
29
|
Jambu batu
|
Psidium guajava
|
C
|
78.9
|
30
|
Jambu bol
|
Eugenia malaccencis
|
C
|
31.6
|
31
|
Jengkol
|
Pithecellobium jiringa
|
D
|
42.1
|
32
|
Jeruk
|
Citrus nobilis
|
C
|
36.8
|
33
|
Kedondong
|
Spondias pinnata
|
D
|
10.5
|
34
|
Lengkeng
|
Dimocarpus longan
|
D
|
10.5
|
35
|
Limus
|
Mangifera foetida
|
D
|
47.4
|
36
|
Mangga
|
Mangifera indica
|
D
|
68.4
|
37
|
Nangka
|
Artocarpus heterophyllus
|
D
|
100
|
38
|
Petai
|
Parkia speciosa
|
D
|
63.1
|
39
|
Rambutan
|
Nephelium lappaceum
|
D
|
52.6
|
40
|
Sawo
|
Manilkara kauki
|
D
|
15.8
|
41
|
Sirsak
|
Annona muricata
|
C
|
21.1
|
42
|
Tangkil
|
Gnetum gnemon
|
C
|
47.4
|
43
|
Aren
|
Arenga pinnata
|
E
|
47.4
|
44
|
Bambu
|
Bambusoidea spp.
|
E
|
42.1
|
45
|
Cengkeh
|
Eugenia aromatica
|
C
|
47.4
|
46
|
Coklat
|
Theobroma cacao
|
C
|
15.8
|
47
|
Kayu manis
|
Cinnamomum burmanii
|
C
|
68.4
|
48
|
Kelapa
|
Cocos nucifera
|
E
|
31.6
|
49
|
Kemiri
|
Aleurites moluccana
|
E
|
36.8
|
50
|
Kopi
|
Coffea robusta
|
B
|
100
|
51
|
Lada
|
Piper ningrum
|
|
|
52
|
Pepaya
|
Carica papaya
|
B
|
36.8
|
53
|
Pinang
|
Areca catechu
|
D
|
10.5
|
54
|
Pisang
|
Musa sp.
|
B
|
89.5
|
55
|
Randu
|
Ceiba pentandra
|
|
|
56
|
Salam
|
Eugenia polyantha
|
E
|
21.1
|
57
|
Cabe
|
Capsicum frutescens
|
A
|
5.3
|
58
|
Jahe
|
Zingiber offcinale
|
A
|
10.5
|
59
|
Kapulaga
|
Amomum compactum
|
A
|
10.5
|
60
|
Kunyit
|
Curcuma longa
|
A
|
21.1
|
61
|
Laja
|
Alpinia galanga
|
A
|
10.5
|
62
|
Nanas
|
Annanas comosus
|
A
|
10.5
|
63
|
Salak
|
Salacca zalacca
|
A
|
10.5
|
64
|
Singkong
|
Manihot esculenta
|
A
|
5.3
|
65
|
Talas
|
Colocasia esculenta
|
A
|
15.8
|
66
|
Rambai
|
Baccaurea motleyana
|
A
|
5.3
|
Sumber
: Wulan (2002)
Keterengan Klas Strata:
Strata A : ketinggian 0-1
meter, terdiri dari tanaman permukaan
Strata B : ketinggian 1-5 meter, terdiri dari kopi,
pisang dan pepaya
Strata C : ketinggain 5-15
meter
Strata D : ketinggian 15-20
meter
Strata E : ketinggian lebih dari 20 meter
<![if !supportFootnotes]>
<![endif]>
<![endif]>
<![if !supportFootnotes]>[1]<![endif]> Tulisan ini merupakan kajian ulang hasil
penelitian profitabilitas budidaya kopi di Sumberjaya yang disajikan dalam dua Laporan terpisah :
Budidarsono et al. (2000) ; dan Kuncoro dan
Budidarsono (2003)
<![if !supportFootnotes]>[2]<![endif]> Pernyataan Varangis
yang disampaikan dalam rangka peluncuran buku
‘The State of Sustainable Coffee:
A study of twelve major market’ (Giovanucci, 2003) dikutip dari:http://web.worldbank.org/
W B S I T E / E X T E R N A L / T O P I C S
/ T R A D E / 0 , , c o n t e n t M D K : 2 0 1 3 1 7 8 1 ~ m e n u P K : 6 4 0
2 1 7 5 3 ~
pagePK:64020865~piPK:149114~theSitePK:239071,00.html
<![if !supportFootnotes]>[3]<![endif]> Gitinger
(1982) adalah acuan baku untuk
analisis eko-nomi dalam proyek pertanian.
Terdapat pengukuran pro-fitabilias yang lain seperti IRR (internal rate of returns) dan Rasio
Manfaat – Biaya (Benefir – Cost ratio/BCR). IRR merupakan parameter yang menunjukkan
sejauh mana satu investasi mampu memberikan keuntungan. Nilai IRR yang lebih
besar dari tingkat bunga umum mem-berikan petunjuk bahwa investasi tersebut
cukup menguntungkan. BCR merupakan perbandingan antara nilai manfaat dan nilai
biaya dari satu investasi pada tingkat bunga yang telah ditentukan. Nilai BCR lebih besar dari satu menunjukkan
bahwa investasi cukup menguntungkan
<![if !supportFootnotes]>[4]<![endif]> Tingkat bunga nyata
(adalah tingkat bunga-dikurangi inflasi) digunakan untuk mendiskonto peneriman
dan pengeluaran selama 25 tahun menjadi nilai sekarang (perhitungan NPV). Dalam
kajian ini, perhitungan NPV menggunakan tingkat bunga konservatif.
<![if !supportFootnotes]>[5]<![endif]> Harga kopi Robusta
pada tahun 1970 dan 1980 mencapai masingmasing US $3.26 per kg dan US $ 4.12/kg
(IBRD/The Word Bank 2003. p 276).
<![if !supportFootnotes]>[6]<![endif]> Ngagung istilah
lokal yang berarti melimpah. Dikaitkan
dengan hasil kopi, istilah ngagung hanya
berlaku pada saat kebun kopi mengalami produksi tertinggi sejak ditanam; biasanya terjadi pada saat tanaman
kopi berumur antara 6-7 tahun.
<![if !supportFootnotes]>[7]<![endif]> Disampaikan oleh
Mark Hanuzs (penulis “A Cup of Java”, 2003) dalam wawancara dengan Majalah
Mingguan GATRA, No. 47
tahun IX, 11 Oktober 2003, pp 47-53
<![if !supportFootnotes]>[8]<![endif]> Kusworo (2000)
dalam kajiannya tentang sengketa kawasan
hutan di Lampung antara lain menjelaskan bahwa pada awal tahun 1980an di
Sumberjaya dilancarkan program penghutanan kembali kawasan hutan lindung yang
sudah digunakan penduduk untuk berkebun kopi sejak tahun 1950an dengan cara
memangkas dan mencabuti pohon kopi dan menggantikannya dengan Kaliandra (Caliandra calothirsus) serta memindahkan
secara paksa penduduk yang bermukim di kawasan hutan lindung.
<![if !supportFootnotes]>[9]<![endif]> Wulan (2002) melakukan inventarisasi tanaman
komersial (memiliki nilai ekonomi) dan menggambarkan profilnya. Kegiatan itu
dilakukan di 19 plot amatan milik petani responden yang mewakili pola kebun
kopi campuran (multistrtata) di dua desa contoh di Sumberjaya. Inventarisasi dilakukan terhadap semua jenis
pohon komersial yang memiliki diameter lebih dari 10 cm. Metode yang digunakan
untuk inventarisasi adalah dengan membuat petak tunggal ukuran 20 m x 20
m. Sedangkan untuk penggambaran profil
kebun kopi campuran dibuat plot dengan ukuran 50m x 10 m. Dalam menentukan lokasi petak amatan untuk menggambar profil
kebun Wulan mempertim-bangkan pula topografi dan jarak plot dan petak
amatan dari rumah petani responden.
<![if !supportFootnotes]>[10]<![endif]>
Kebanyakan petani tertutup dalam hal besarnya jumlah uang yang harus
diserahkan. Pungutan ini merupakan pungutan tidak resmi dan besarnya pungutan
ditentukan oleh para oknum aparat terkait secara arbitrer. Namun demikian pada
tahun 2000, pemerintah Provinsi Lampung mengeluarkan Peraturan daerah No. 7 tentang penarikan retribusi hasil hutan
non kayu. Dalam peraturan tersebut
antara lain dinyatakan bahwa besarnya retribusi
komoditas kopi yang dihasilkan dari kawasan hutan adalah Rp. 610/kg.
Akan tetapi Peraturan Daerah tersebut ditunda pelaksanaanya, karena
banyak ditentang baik oleh petani maupun pembeli internasional (KOMPAS, 8 Maret
2000; KOMPAS, 3 Agustus 2000)
No comments:
Post a Comment