Saturday, 26 September 2015

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA LAHAN KRITIS SEBAGAI ALTERNATIF PENYEDIAAN


PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA LAHAN KRITIS SEBAGAI ALTERNATIF PENYEDIAAN




Download File
Download Doc


Leave a comment

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA LAHAN KRITIS SEBAGAI

ALTERNATIF PENYEDIAAN PANGAN

Posted by gsumarlan on March 1, 2012 in Uncategorized

Latar Belakang



Konsep pemikiran yang merangsang kebijakaan sistem pengelolaan hutan yang melibatkan atau

berbasis pada kepentingan masyarakat (based forest management of community

interests) atau forest for people mulai berkembang pada tahun 1978 yaitu pada kongres

kehutanan sedunia ke- 8 di Jakarta. Skema atau model dari konsep pengembangan

pemikiran forest for people yang diterapkan di Indonesia bentuknya bermacam-macam, antara

lain (Suharjito et al. 2000 dan Awang 2003): community forestry (CF), sosial forestry (SF), farm

forestry (FF),dan agroforestry (AG). Dalampenerapannya di masyarakat istilah-istilah tersebut

disesuai dengan kepentingan dari pengguna dan pengertian istilah yang satu dengan yang lainnya

saling mengisi dan melengkapi.

Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri telah dipraktekkan petani sejak jaman dahulu,

khususnya di Jawa yang dikenal dengan nama tumpang sari (Kartasubrata 2003 dan Awang

2003). Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan yang dipadukan dengan

tanaman pertanian dan atau hewan secara bergilir, sehingga di dalamnya terjadi saling interaksi

ekologi, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat (King dan Chandler 1978; Satjapradja

1981; Nair 1989).

Daerah sepanjang pantai utara (pantura) khususnya Jawa Tengah adalah daerah yang selalu

menjadi langganan banjir tiap musim penghujan, dan keke-ringan pada musim kemarau.

Penyebab bencana tersebut, karena lahannya dalam kondisi yang kritis, sehingga air tidak dapat

diserap dan mengendap dalam tanah. Luas lahan kritis di Jawa Tengah mencapai 1.067.027,41

hektar (BP DAS Pemali Jratun, 2009), dan lahan tersebut berada di sepanjang pantura.Bentuk-

bentuk sistem agroforestri (King dan Chandler 1978), antara lain: (a) Agrisilviculture, yaitu

penggunaan lahan untuk menghasilkan hasil hutan dan pertanian; (b) Sylvopasporal system, yaitu

sistem pengelolaan lahan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak; (c) Agrosilvo-

pastoral system, yaitu pengelolaan lahan untuk menghasilkan kayu dan hasil pertanian secara

bersama-sama dan sekaligus memelihara ternak; dan (d) Multipurpose forest tree production

system (MPTS), yaitu sistem pengelolaan lahan dengan menggunakan berbagai jenis kayu, yang

tidak hanya menghasil-kan kayu tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat

dimanfaatkan sebagai sumber pangan baik untuk manusia maupun ternak. Menurut von Maydell

(1986), penerapan sistem agroforestri bertujuan untuk: (a) Menjamin dan memperbaiki

ketersediaan pangan, serta penganekaragaman jenis pangan; (b) Memperbaiki penyediaan energi

untuk kebutuhan lokal, khususnya kayu bakar; (c) Meningkatkan dan memperbaiki secara

kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian, sehingga

memberikan peluangan pada peningkatan pendapatan melalui hasil hutan dan hasil pertanian; (d)

Memper-baiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya daerah yang mempunyai tingkat

kesulitan hidup yang tinggi dan masyarakat banyak yang miskin. Dengan penganekaragaman

pekerjaan yang menarik akan memberikan peluang bagi peningkatan pendapatan sehingga

masyarakat akan dapat memenuhi kebutuh-annya. Dengan demikian masyarakat akan tetap

bermukim, sehingga nilai-nilai budaya akan tetap terpelihara; dan (e) Memelihara dan

memperbaiki jasa ling-kungan. Dengan terpeliharanya kondisi lingkungan, diharapkan tidak

terjadi bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan.

Khusus lahan kritis di Kabupaten Pati mencapai  51.170,59 hektar atau sekitar 33,07% dan lahan

tadah hujan yang hanya dapat ditamami padi sekali dalam setahun seluas 44.019 hektar atau

28.42% dari luas seluruh Kabupaten Pati 154.886,47 hektar (BP DAS Pemali Jratun, 2009).

Kondisi ini semakin diper-buruk dengan jenis tekstur tanah yang ada di Kabupaten Pati yaitu

tanah liat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hermantoro (2008), menunjukkan bahwa jenis

tanah liat mempunyai tingkat evaporasi atau kehilangan air mencapai 40%, sehingga

menyebabkan kekeringan pada musim kemarau.

Dampak dari kondisi lahan tersebut, menyebabkan sering terjadinya gagal panen, sehingga

Kabupaten Pati sangat rentan terhadap bencana kemiskinan, kelaparan, busung lapar. Fakta

menunjukkan bahwa pada pertengahan tahun 2005, terdapat 186 balita yang menderita busung

lapar atau gizi buruk dari keluarga miskin dan dua diantaranya meninggal dunia (Suara

Merdeka,12 Juli 2005 dalamwww.kabarindonesia.com). 

Penyebab lain dari kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Pati adalah semakin meningkatnya

pengangguran. Terjadinya peningkatan pengangguran tersebut dipicu oleh sempitnya lapangan

pekerjaan dan rentannya pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan swasta. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Suroso (2009) menunjukkan bahwa pengangguran di Kabupaten

Pati cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran sebanyak 14.103

orang, tahun 2007 meningkat 4 kali lipat menjadi 55.409 orang. Kondisi ini menyebabkan

masyarakat tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan pokok (sandang, pangan, perumahan,

kesehatan dan pendidikan), yang kemu-dian memicu terjadinya kemiskinan yang semakin 

bertambah.

Kondisi lahan kritis dan kurang baik untuk lahan pertanian, sudah sela-yaknya menerapkan

teknologi bertani baru yang dapat memperbaiki kekritisan lahan. Salah satu teknologi inovasi

baru yang cocok untuk mengatasi hal terse-but yaitu sistem agroforestri. Keuntungan

pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri adalah sistem tersebut dapat memperbaiki

kerusakan lahan (Von Maydell 1986), dan masyarakat masih tetap bertani. Jadi teknologi

agroforestri ini tidak mengubah masyarakat petani, tetapi yang diubah adalah cara bertaninya

(Van den Ban dan Hawkins 1999).

Penerapan sistem agroforestri yang sesuai dengan kondisi di Kabupaten Pati, yaitu dengan

cara agrisilviculture dan MPTS. Sistem agrisilviculture dilaku-kan dengan cara menanami

pinggir lahan jati, mahoni dan turi. Sedangkan lahannya ditamani dengan komoditas tanaman

pertanian seperti singkong, kacang tanah, jagung dan tebu. Untuk teknik MPTS dilaksanakan di

lahan-lahan pekarangan sekitar rumah dan tegalan yang ada di sekitar desa. Jenis MPTS yang

cukup diminati antara lain: durian, rambutan, pete, jati, mahoni, randu dan sengon. Beberapa

hasil penelitian yang berhubungan dengan sistem agroforestri di Kabupaten Pati, antara lain:

Djati Waluyo Djoar (2009) tentang jenis tanaman srikaya (Annona squamosa L) menunjukkan

bahwa tanaman tersebut merupakan tanaman yang cocok di kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati

sebagai salah satu alternatif untuk kegiatan agroforestri dengan sistem MPTS.  Balitka Manado

(2007) menjelaskan bahwa kelapa kopyor merupakan jenis komoditi yang dapat dipadukan

dengan tanaman lain di wilayah kecamatan Wedarijaksa, Cluwak, Dukuhseti, Margoyoso,

Trangkil, dan Gunung Wungkal. Hakim dan Widiarti (2008) menunjukkan bahwa sistem

agroforestri yang dilakukan di kecamatan Gembong memadukan antara lebah melifera dengan

tanaman buah-buahan, randu, singkong dan jagung memberikan hasil yang cukup tinggi di

masyarakat.

Agar masyarakat percaya bahwa sistem agroforestri dapat memberikan keuntungan yang layak

perlu dilakukan penyadaran terlebih dahulu. Tumbuhnya kesadaran masyarakat, akan

menumbuhkan motivasi untuk mengadopsi tekno-logi pengelolaan lahan dengan sistem

agroforestri. Motivasi tersebut dapat secara intrinsik maupun ekstrinsik. Tumbuhnya motivasi

intrinsik, dipengaruhi oleh dorongan yang berasal dari dalam dirinya, misalnyanya masyarakat

ingin memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, antara lain: sadang, pangan, papan, pendidikan dan

kesehatan (Sen 1992 dalam Sianturi 2003). Motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang berasal

dari luar individu masyarakat. Motivasi ekstrinsik dipengaruhi oleh untuk mendapatkan sesuatu

yang lebih baik, misalnya menda-patkan hasil usaha yang lebih besar, dapat berkumpul dengan

masyarakat yang lainnya, dan memperoleh status dalam kehidupannya bermasyarakat.

Belum tumbuhnya motivasi masyarakat untuk menerapkan sistem agro-forestri dalam

pengelolaan lahan, karena masyarakat memahami manfaat dari sistem agroforestri tersebut.

Untuk membangkitkan motivasi masyarakat dalam mengadopsi pengelolaan lahan dengan sistem

agroforestri, dibutuhkan peran para pihak yang terkait, antara lain penyuluh, tokoh masyarakat

sebagai pemimpin lokal, pemerin-tah, swasta, sistem pasar. Hal lain yang memberikan pengaruh

terhadap adopsi suatu teknologi, adalah sifat kelenturan teknologi inovasi itu sendiri (Van den

Band dan Hawkins 1999; Rogers 1983) dan kemauan  masyarakat sendiri.

Peran penyuluh sangat besar untuk memberikan penyadaran dan mem-bantu masyarakat dalam

memahami pengelolaan lahan mereka dengan sistem agroforestri. Dalam hal ini tentunya

penyuluh harus mampu menguasai sistem agroforestri sehingga dapat menyusun rancangan

penyuluhan yang dapat membangkitkan motivasi masyarakat. Selain rancangan penyuluhan yang

mantap, penyuluh juga harus mampu menunjukkan contoh agroforestri yang telah berhasil.

Dengan kondisi yang demikian, diharapkan masyarakat tumbuh rasa kepercayaannya kepeda

penyuluh, sehingga materi yang disuluhkan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Selain peran penyuluh, peran tokoh masyarakat sebagai pemimpin lokal sangat diharapkan untuk

membantu memberikan kesadaran kepada masyarakat. Sebagai pemimpin tokoh masyarakat

harus dapat memberikan contoh (role model) dalam masyarakatnya. Oleh karena itu tokoh

masyarakat harus mem-punyai jiwa kepemimpinan yang dapat menjadi panutan bagi yang

dipimpinan-nya. Dengan jiwa kepemimpinan yang dimiliki oleh tokoh masyarakat, diharap-kan

dapat membantu tumbuhnya motivasi masyarakat dalam mengelola lahan dengan sistem

agroforestri (Ekawati 2006; Suharjitoet al., 2008). Peran peme-rintah sebagai pemegang otoritas

kewenangan dalam pengelolaan lahan di wilayahnya, diharapkan dapat memberi kan kebijakan-

kebijakan yang men-dukung pengeolaan lahan dengan sistem agroforestri. Kebijakan pemerintah

yang dapat membantu meningkatkan motivasi masyarakat, antara lain: penyedian infrastruktur

yang memadai sehingga dapat membantu masyarakat dalam memasarkan hasil usaha

agroforestri, dan pem-berian insentif kepada masyarakat dalam bentuk pelatihan dan keringanan

pajak hasil usaha.

Peran lain yang cukup menentukan dalam membangkitkan motivasi masya-rakat dalam

mengelola lahan dengan sistem agroforestri adalah sistem pasar yang mendukung. Dengan

adanya sistem pasar yang mendukung, masyarakat dapat menjual hasil usahanya dengan baik

(Tukan et.al, 2000). Sistem pasar yang mendukung yang dimaksud adalah masyarakat

mempunyai daya tawar yang sama dengan pengusaha ataupun pengumpul sehingga usaha

agroforestrinya memberikan keuntungan yang semestinya. Oleh karena itu, peran penyuluh dan

pemerintah dalam sistem pasar inipun sangat diharapkan dapat membantu masyarakat. Peran

yang dapat meningkatkan motivasi masyarakat dalam mengelola lahan dengan sistem

agroforestri, adalah pihak swasta. Peran swasta dapat berasal dari petani yang sudah berhasil

ataupun dari pengusaha swasta mengambil sumber input untuk usahanya berasal dari

masyarakat. Peran pihak swasta terutama pengusaha swasta dalam meningkat-kan motivasi

masyarakat, merupakan salah bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap tanggung jawab sosial

dan lingkungan yang telah diatur dalam UU PT No. 40 Tahun 2007.

Peran lain yang mempengaruhi dari cepat dan lambatnya suatu teknologi diadopsi oleh

masyarakat ditentukan juga oleh sifat kelenturan dari teknologi itu sendiri. Cir-ciri kelenturan

dari sifat teknologi inovasi agroforestri, antara lain: keuntungan relatif, kompabilitas,

kompleksitas, mudah dicoba, dan dapat diamati. Dengan sifat kelenturan dari teknologi, ini akan

menumbuhkan motivasi masya-rakat sehingga masyarakat termotivasi untuk mengelola lahannya

dengan sistem agroforestri.

Tumbuhnya motivasi masyarakat baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, yang didorong oleh

peran aktif dari para pihak yang berkompeten dan sifat kelenturan dari teknologi agroferstri,

dapat mempengaruhi kinerja masyarakat (Wikipedia 2010; Robbins 2003; Gibson et al. 1985;

Wibisono 2003). Mening-katnya kinerja masyarakat, mempunyai dampak yang baik dalam

penerapan teknologi dan berpengaruh terhadap pendapatan masyartakat.

Peran aktif dari penyuluh,tokoh masyarakat, pemerintah, sistem pema-saran, swasta dan atau

pengusaha swasta, dan tingkat ketenturan dari sifat teknologi agroforestri dapat menumbuhkan

motivasi baik secara intrinsik maupun    ekstrinsik. Dengan tumbuhnya motivasi tersebut, yang

diikuti dengan peningkat-an kinerja dalam masyarakat  diharapkan kebutuhan masyarakat akan

terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat tersebut, pengelolaan hutan lestari akan

terwujud yang berbasis pada kepentingan masyarakat akan terwujud.


No comments:

Post a Comment