PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA LAHAN KRITIS SEBAGAI ALTERNATIF PENYEDIAAN |
Download File
Download Doc
Leave a comment
PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA LAHAN KRITIS SEBAGAI
ALTERNATIF PENYEDIAAN PANGAN
Posted by gsumarlan on March 1, 2012 in Uncategorized
Latar Belakang
Konsep pemikiran yang merangsang kebijakaan sistem pengelolaan hutan yang melibatkan atau
berbasis pada kepentingan masyarakat (based forest management of community
interests) atau forest for people mulai berkembang pada tahun 1978 yaitu pada kongres
kehutanan sedunia ke- 8 di Jakarta. Skema atau model dari konsep pengembangan
pemikiran forest for people yang diterapkan di Indonesia bentuknya bermacam-macam, antara
lain (Suharjito et al. 2000 dan Awang 2003): community forestry (CF), sosial forestry (SF), farm
forestry (FF),dan agroforestry (AG). Dalampenerapannya di masyarakat istilah-istilah tersebut
disesuai dengan kepentingan dari pengguna dan pengertian istilah yang satu dengan yang lainnya
saling mengisi dan melengkapi.
Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri telah dipraktekkan petani sejak jaman dahulu,
khususnya di Jawa yang dikenal dengan nama tumpang sari (Kartasubrata 2003 dan Awang
2003). Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan yang dipadukan dengan
tanaman pertanian dan atau hewan secara bergilir, sehingga di dalamnya terjadi saling interaksi
ekologi, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat (King dan Chandler 1978; Satjapradja
1981; Nair 1989).
Daerah sepanjang pantai utara (pantura) khususnya Jawa Tengah adalah daerah yang selalu
menjadi langganan banjir tiap musim penghujan, dan keke-ringan pada musim kemarau.
Penyebab bencana tersebut, karena lahannya dalam kondisi yang kritis, sehingga air tidak dapat
diserap dan mengendap dalam tanah. Luas lahan kritis di Jawa Tengah mencapai 1.067.027,41
hektar (BP DAS Pemali Jratun, 2009), dan lahan tersebut berada di sepanjang pantura.Bentuk-
bentuk sistem agroforestri (King dan Chandler 1978), antara lain: (a) Agrisilviculture, yaitu
penggunaan lahan untuk menghasilkan hasil hutan dan pertanian; (b) Sylvopasporal system, yaitu
sistem pengelolaan lahan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak; (c) Agrosilvo-
pastoral system, yaitu pengelolaan lahan untuk menghasilkan kayu dan hasil pertanian secara
bersama-sama dan sekaligus memelihara ternak; dan (d) Multipurpose forest tree production
system (MPTS), yaitu sistem pengelolaan lahan dengan menggunakan berbagai jenis kayu, yang
tidak hanya menghasil-kan kayu tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber pangan baik untuk manusia maupun ternak. Menurut von Maydell
(1986), penerapan sistem agroforestri bertujuan untuk: (a) Menjamin dan memperbaiki
ketersediaan pangan, serta penganekaragaman jenis pangan; (b) Memperbaiki penyediaan energi
untuk kebutuhan lokal, khususnya kayu bakar; (c) Meningkatkan dan memperbaiki secara
kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian, sehingga
memberikan peluangan pada peningkatan pendapatan melalui hasil hutan dan hasil pertanian; (d)
Memper-baiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya daerah yang mempunyai tingkat
kesulitan hidup yang tinggi dan masyarakat banyak yang miskin. Dengan penganekaragaman
pekerjaan yang menarik akan memberikan peluang bagi peningkatan pendapatan sehingga
masyarakat akan dapat memenuhi kebutuh-annya. Dengan demikian masyarakat akan tetap
bermukim, sehingga nilai-nilai budaya akan tetap terpelihara; dan (e) Memelihara dan
memperbaiki jasa ling-kungan. Dengan terpeliharanya kondisi lingkungan, diharapkan tidak
terjadi bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan.
Khusus lahan kritis di Kabupaten Pati mencapai 51.170,59 hektar atau sekitar 33,07% dan lahan
tadah hujan yang hanya dapat ditamami padi sekali dalam setahun seluas 44.019 hektar atau
28.42% dari luas seluruh Kabupaten Pati 154.886,47 hektar (BP DAS Pemali Jratun, 2009).
Kondisi ini semakin diper-buruk dengan jenis tekstur tanah yang ada di Kabupaten Pati yaitu
tanah liat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hermantoro (2008), menunjukkan bahwa jenis
tanah liat mempunyai tingkat evaporasi atau kehilangan air mencapai 40%, sehingga
menyebabkan kekeringan pada musim kemarau.
Dampak dari kondisi lahan tersebut, menyebabkan sering terjadinya gagal panen, sehingga
Kabupaten Pati sangat rentan terhadap bencana kemiskinan, kelaparan, busung lapar. Fakta
menunjukkan bahwa pada pertengahan tahun 2005, terdapat 186 balita yang menderita busung
lapar atau gizi buruk dari keluarga miskin dan dua diantaranya meninggal dunia (Suara
Merdeka,12 Juli 2005 dalamwww.kabarindonesia.com).
Penyebab lain dari kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Pati adalah semakin meningkatnya
pengangguran. Terjadinya peningkatan pengangguran tersebut dipicu oleh sempitnya lapangan
pekerjaan dan rentannya pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan swasta. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Suroso (2009) menunjukkan bahwa pengangguran di Kabupaten
Pati cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran sebanyak 14.103
orang, tahun 2007 meningkat 4 kali lipat menjadi 55.409 orang. Kondisi ini menyebabkan
masyarakat tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan pokok (sandang, pangan, perumahan,
kesehatan dan pendidikan), yang kemu-dian memicu terjadinya kemiskinan yang semakin
bertambah.
Kondisi lahan kritis dan kurang baik untuk lahan pertanian, sudah sela-yaknya menerapkan
teknologi bertani baru yang dapat memperbaiki kekritisan lahan. Salah satu teknologi inovasi
baru yang cocok untuk mengatasi hal terse-but yaitu sistem agroforestri. Keuntungan
pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri adalah sistem tersebut dapat memperbaiki
kerusakan lahan (Von Maydell 1986), dan masyarakat masih tetap bertani. Jadi teknologi
agroforestri ini tidak mengubah masyarakat petani, tetapi yang diubah adalah cara bertaninya
(Van den Ban dan Hawkins 1999).
Penerapan sistem agroforestri yang sesuai dengan kondisi di Kabupaten Pati, yaitu dengan
cara agrisilviculture dan MPTS. Sistem agrisilviculture dilaku-kan dengan cara menanami
pinggir lahan jati, mahoni dan turi. Sedangkan lahannya ditamani dengan komoditas tanaman
pertanian seperti singkong, kacang tanah, jagung dan tebu. Untuk teknik MPTS dilaksanakan di
lahan-lahan pekarangan sekitar rumah dan tegalan yang ada di sekitar desa. Jenis MPTS yang
cukup diminati antara lain: durian, rambutan, pete, jati, mahoni, randu dan sengon. Beberapa
hasil penelitian yang berhubungan dengan sistem agroforestri di Kabupaten Pati, antara lain:
Djati Waluyo Djoar (2009) tentang jenis tanaman srikaya (Annona squamosa L) menunjukkan
bahwa tanaman tersebut merupakan tanaman yang cocok di kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati
sebagai salah satu alternatif untuk kegiatan agroforestri dengan sistem MPTS. Balitka Manado
(2007) menjelaskan bahwa kelapa kopyor merupakan jenis komoditi yang dapat dipadukan
dengan tanaman lain di wilayah kecamatan Wedarijaksa, Cluwak, Dukuhseti, Margoyoso,
Trangkil, dan Gunung Wungkal. Hakim dan Widiarti (2008) menunjukkan bahwa sistem
agroforestri yang dilakukan di kecamatan Gembong memadukan antara lebah melifera dengan
tanaman buah-buahan, randu, singkong dan jagung memberikan hasil yang cukup tinggi di
masyarakat.
Agar masyarakat percaya bahwa sistem agroforestri dapat memberikan keuntungan yang layak
perlu dilakukan penyadaran terlebih dahulu. Tumbuhnya kesadaran masyarakat, akan
menumbuhkan motivasi untuk mengadopsi tekno-logi pengelolaan lahan dengan sistem
agroforestri. Motivasi tersebut dapat secara intrinsik maupun ekstrinsik. Tumbuhnya motivasi
intrinsik, dipengaruhi oleh dorongan yang berasal dari dalam dirinya, misalnyanya masyarakat
ingin memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, antara lain: sadang, pangan, papan, pendidikan dan
kesehatan (Sen 1992 dalam Sianturi 2003). Motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang berasal
dari luar individu masyarakat. Motivasi ekstrinsik dipengaruhi oleh untuk mendapatkan sesuatu
yang lebih baik, misalnya menda-patkan hasil usaha yang lebih besar, dapat berkumpul dengan
masyarakat yang lainnya, dan memperoleh status dalam kehidupannya bermasyarakat.
Belum tumbuhnya motivasi masyarakat untuk menerapkan sistem agro-forestri dalam
pengelolaan lahan, karena masyarakat memahami manfaat dari sistem agroforestri tersebut.
Untuk membangkitkan motivasi masyarakat dalam mengadopsi pengelolaan lahan dengan sistem
agroforestri, dibutuhkan peran para pihak yang terkait, antara lain penyuluh, tokoh masyarakat
sebagai pemimpin lokal, pemerin-tah, swasta, sistem pasar. Hal lain yang memberikan pengaruh
terhadap adopsi suatu teknologi, adalah sifat kelenturan teknologi inovasi itu sendiri (Van den
Band dan Hawkins 1999; Rogers 1983) dan kemauan masyarakat sendiri.
Peran penyuluh sangat besar untuk memberikan penyadaran dan mem-bantu masyarakat dalam
memahami pengelolaan lahan mereka dengan sistem agroforestri. Dalam hal ini tentunya
penyuluh harus mampu menguasai sistem agroforestri sehingga dapat menyusun rancangan
penyuluhan yang dapat membangkitkan motivasi masyarakat. Selain rancangan penyuluhan yang
mantap, penyuluh juga harus mampu menunjukkan contoh agroforestri yang telah berhasil.
Dengan kondisi yang demikian, diharapkan masyarakat tumbuh rasa kepercayaannya kepeda
penyuluh, sehingga materi yang disuluhkan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Selain peran penyuluh, peran tokoh masyarakat sebagai pemimpin lokal sangat diharapkan untuk
membantu memberikan kesadaran kepada masyarakat. Sebagai pemimpin tokoh masyarakat
harus dapat memberikan contoh (role model) dalam masyarakatnya. Oleh karena itu tokoh
masyarakat harus mem-punyai jiwa kepemimpinan yang dapat menjadi panutan bagi yang
dipimpinan-nya. Dengan jiwa kepemimpinan yang dimiliki oleh tokoh masyarakat, diharap-kan
dapat membantu tumbuhnya motivasi masyarakat dalam mengelola lahan dengan sistem
agroforestri (Ekawati 2006; Suharjitoet al., 2008). Peran peme-rintah sebagai pemegang otoritas
kewenangan dalam pengelolaan lahan di wilayahnya, diharapkan dapat memberi kan kebijakan-
kebijakan yang men-dukung pengeolaan lahan dengan sistem agroforestri. Kebijakan pemerintah
yang dapat membantu meningkatkan motivasi masyarakat, antara lain: penyedian infrastruktur
yang memadai sehingga dapat membantu masyarakat dalam memasarkan hasil usaha
agroforestri, dan pem-berian insentif kepada masyarakat dalam bentuk pelatihan dan keringanan
pajak hasil usaha.
Peran lain yang cukup menentukan dalam membangkitkan motivasi masya-rakat dalam
mengelola lahan dengan sistem agroforestri adalah sistem pasar yang mendukung. Dengan
adanya sistem pasar yang mendukung, masyarakat dapat menjual hasil usahanya dengan baik
(Tukan et.al, 2000). Sistem pasar yang mendukung yang dimaksud adalah masyarakat
mempunyai daya tawar yang sama dengan pengusaha ataupun pengumpul sehingga usaha
agroforestrinya memberikan keuntungan yang semestinya. Oleh karena itu, peran penyuluh dan
pemerintah dalam sistem pasar inipun sangat diharapkan dapat membantu masyarakat. Peran
yang dapat meningkatkan motivasi masyarakat dalam mengelola lahan dengan sistem
agroforestri, adalah pihak swasta. Peran swasta dapat berasal dari petani yang sudah berhasil
ataupun dari pengusaha swasta mengambil sumber input untuk usahanya berasal dari
masyarakat. Peran pihak swasta terutama pengusaha swasta dalam meningkat-kan motivasi
masyarakat, merupakan salah bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap tanggung jawab sosial
dan lingkungan yang telah diatur dalam UU PT No. 40 Tahun 2007.
Peran lain yang mempengaruhi dari cepat dan lambatnya suatu teknologi diadopsi oleh
masyarakat ditentukan juga oleh sifat kelenturan dari teknologi itu sendiri. Cir-ciri kelenturan
dari sifat teknologi inovasi agroforestri, antara lain: keuntungan relatif, kompabilitas,
kompleksitas, mudah dicoba, dan dapat diamati. Dengan sifat kelenturan dari teknologi, ini akan
menumbuhkan motivasi masya-rakat sehingga masyarakat termotivasi untuk mengelola lahannya
dengan sistem agroforestri.
Tumbuhnya motivasi masyarakat baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, yang didorong oleh
peran aktif dari para pihak yang berkompeten dan sifat kelenturan dari teknologi agroferstri,
dapat mempengaruhi kinerja masyarakat (Wikipedia 2010; Robbins 2003; Gibson et al. 1985;
Wibisono 2003). Mening-katnya kinerja masyarakat, mempunyai dampak yang baik dalam
penerapan teknologi dan berpengaruh terhadap pendapatan masyartakat.
Peran aktif dari penyuluh,tokoh masyarakat, pemerintah, sistem pema-saran, swasta dan atau
pengusaha swasta, dan tingkat ketenturan dari sifat teknologi agroforestri dapat menumbuhkan
motivasi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Dengan tumbuhnya motivasi tersebut, yang
diikuti dengan peningkat-an kinerja dalam masyarakat diharapkan kebutuhan masyarakat akan
terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat tersebut, pengelolaan hutan lestari akan
terwujud yang berbasis pada kepentingan masyarakat akan terwujud.
No comments:
Post a Comment