Thursday, 26 March 2015

Sepucuk Daun Teh

 Di dalam kamar aku masih terus memandangi daun teh yang kian lama kian layu dan pudar hijaunya sama seperti jiwaku. Masih teringat jelas kenangan musim liburan lalu. Dimana aku bertemu dengan seseorang yang membuatku merasa nyaman, hangat dan aman. Saat itu aku menginap di sebuah Villa milik saudaraku yang bertempat tak jauh dari kebun teh daerah Puncak, Bogor, Jawa Barat. Hembusan angin segar menerpaku di pagi hari saat aku tepat sampai dari perjalanan melelahkanku. Udara disini membuatku bersemangat untuk terus hidup.
Dengan senyum yang mengukir di wajah ovalku, aku berjalan-jalan di kebun teh. Menghirup udara. Menghembuskannya melalui mulut. Menghirup lagi. Dan menghembuskannya lagi. Huaaaaah jiwaku terasa bebas disini. Aku menyaksikan bentang alam yang ada di depan mataku. Tak henti-hentinya aku memanjatkan rasa syukurku kepada Tuhan yang telah menciptakan Alam Semesta yang begitu menakjubkan terbentang di hadapanku kini.
Aku terus berjalan sambil bernyanyi dan menyentuh daun-daun teh di setiap langkahku yang melewatinya. Aku memejamkan mata. Merasakan hembusan oksigen yang memasuki hidungku, berjalan melewati bronkus, lalu bronkeolus, hingga sampai di alveolus dalam paru-paruku. Lega. Sejuk sekali.
Ku buka mataku perlahan dan aku melihat seorang lelaki bertubuh tinggi. Berkulit putih. Bermata biru. Ya Tuhan! Dia… blasteran Indo. So handsome. Aku dan dia masih saling menatap. Hingga aku tersadar dan aku hendak melewatinya, ia justru menghadangku. Aku ambil kanan. Dia kanan. Aku ambil kiri dia juga kiri. Dan kemudian kita sama-sama tertawa. “Silahkan nona.” Pada akhirnya dia menyadari kegugupanku dan membiarkan aku lewat.
Aku kembali ke Villa untuk membereskan koperku dan sarapan. Ternyata Bi Inah –Pembantu sekaligus Tukang bersih-bersih Villa- telah menyiapkan banyak makanan khas Bogor. Penat belajarku saat di kota metropolitan Jakarta kini jadi hilang. Aku pun makan dengan lahap. Papaku tersenyum melihatku bersemangat.
Setelah sarapan aku keluar dari Villa untuk berjalan-jalan di Danau yang terletak tak jauh dari Villa tempatku menginap. Aku berjalan kaki sambil melihat-lihat pemandangan di sekitarku. Aku sampai di tepi danau. Tanganku keluar dari saku dan mulai menyentuh air danau yang dingin sekali. Aku menggigil. Tadinya aku mau bermain air tapi ternyata aku lupa memakai jaket dan pasti akan terasa dingin. Vian sahabatku di Jakarta memPING BMku. “Jangan lupa kasih hasil jepretan loe disana ya? Pasti objek buat ekskul photography kita bakal bagus kali ini. Good Luck Beibi Anya.” Aku membalasnya. “Iya beibi Vian makasih yaa”
Aku segera mengeluarkan kameraku dan mulai memfoto danau dari berbagai sisi untuk mendapatkan hasil yang memuaskan karena di tahun ajaran baru nanti hasil dari berbagai ekskul di sekolah kami akan dipamerkan kepada adek-adek kelas nanti. Aku berjalan semakin maju untuk mengambil gambar tanpa melihat ke bawah. Dan tiba-tiba semua menjadi gelap.
Mataku terbuka saat seseorang memberiku nafas buatan dan kini aku berbaring di tepi danau dengan kondisi badan yang basah kuyup. Mataku tampak samar-samar. Aku batuk dan mengeluarkan air danau yang tak sengaja ku telan sewaktu aku tenggelam di danau. Mataku semakin jelas dan aku melihat seorang lelaki yang tadi sempat berpapasan di Kebun Teh Mekarayu. “Hei. Apa kamu sudah sadar?” katanya sambil melambai-lambaikan tangannya di depan mataku. “Syukur deh akhirnya kamu sadar.” Ucapnya lagi. Hei! Suaranya tidak berlogat Barat. Aku bangun dan memberi senyum simpul padanya. “Makasih ya udah nyelametin aku. Kalau nggak ada kamu mungkin aku udah mati tenggelam di sana” ujarku sambil menundukkan kepala. Ia menjabat tanganku, “Namaku Kevin. Kamu?”. “Aku Anya. Ya udah aku duluan ya.”
Setelah berpamitan padanya aku kembali berjalan-jalan untuk mencari objek foto yang lain. “Anya!” Ia berteriak memangilku sambil berlari ke arahku. “Kamu pendatang kan? Emangnya kamu udah tau jalan-jalan disini? Aku anter yuk.” Aku pun mengangguk menyetujui ajakannya dan berjalan di sampingnya. Aku terdiam. Rasanya kosakata dalam otakku telah habis. Padahal biasanya aku selalu cerewet walaupun dengan orang yang baru aku kenal. Tapi? Mengapa sekarang berbeda?
Dia menceritakan tempat-tempat di sini. Gaya bicaranya seperti Tour Leader. Diam-diam aku memfotonya. Tapi dia menyadarinya, “Hayoo mengambil gambar tanpa ijin ada undang-undangnya lho.” Aku terkekeh.
“Ya udah. Kak Kevin aku boleh minta gambar kakak nggak?”
“Satu jepretan 100 ribu ya?”
“Ih kakak perhitungan deh”
“Tadi kamu manggil apa? Kakak? Sok tau kamu. Darimana kamu tau kalo aku lebih tua dari kamu?”
“Lho? Kamu lupa ya? Tadi waktu kamu cerita kan kamu udah bilang kamu kelas 12.”
“Terus kalo udah kelas 12 udah pasti lebih tua dari kamu gitu?”
“Iya dong.” Aku menjulurkan lidah.
“Idih sok tau. Aku ikut program Akselerasi tau. Welk” Dan giliran dia yang menjulurkan lidah.
Aku malu karena sudah asal menyimpulkan. Ah Anya kenapa kamu begini? Nggak biasanya deh. Aku berbicara dalam hati merutuki kebodohanku. Aku menundukkan kepala karena malu. Sedangkan ia tertawa puas. Ia mencubit pipiku, “Kamu lucu banget sih.” Ya Tuhan kenapa jantungku tiba-tiba berdegup kencang seperti ini? Apa ini namanya cinta pada pandangan pertama? Entahlah. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menyingkirkan pemikiranku yang semakin konyol.
Tak terasa hari mulai sore. Udara kembali dingin. Matahari pun semakin tenggelam. Kevin mengantarkanku kembali ke Villa. “Udah nyampe kok, Kev. Di sini. Makasih ya” Ia menjawab diikuti dengan senyuman. “Iya sama-sama. Kalo mau jalan-jalan ke tempat yang laen lagi aku siap anter kamu. Kamu hubungin nomerku yang tadi aja. Ntar aku jemput” Ia menawarkanku panjang lebar. Aku mengiyakannya.
Di hari-hari berikutnya kami menjadi lebih akrab dan dekat. Kami pun sering berjalan-jalan bersama. Bercerita, tertawa bercanda bersama. Bahkan makan bersama juga pernah. Ia mengajakku ke rumahnya dan memperkenalkanku pada ibunya. Ibunya sangat ramah padaku. Aku mencicipi masakan ibunya yang sangat lezat. “Sebelumnya Kevin belum pernah lho nak membawa perempuan main ke rumah.” Hah? Belum pernah? Aku yang pertama dong? Aku tertegun mendengar pengakuan ibunya. Tapi aku tetap tersenyum.
3 minggu berlalu. Aku berpamitan pada Kevin dan ibunya untuk kembali ke kota Metropolitan tempat tinggalku. Kevin memberiku sepucuk daun teh padaku dan mengatakan. “Daun teh ini melambangkan Keaslian, Kesegaran dan Kesucian Alam. Begitu juga dengan rasaku kepadamu. Hanya satu pucuk yang melambangkan satu hati yang tulus untukmu yang indah dan sejuk, Anya. Aku pasti akan sangat merindukanmu. Apabila kita berjodoh. Kita pasti akan bertemu.” Sungguh menyentuh hatiku. Aku pun memberikannya sepucuk daun teh juga.
Sudah 2 tahun berlalu, daun teh itu masih tersimpan dalam bingkai kecil dalam kamarku. Dan aku masih menjaga dan merawatnya walau sudah semakin layu. Aku terus memberi pengawet untuk mengawetkannya. Entah mengapa aku masih yakin kalau akan bertemu dengan Kevin lagi. Walaupun dalam 2 tahun terdapat hari-hari liburan, ayahku mengajak liburan di Jogja walau aku terus mengajaknya ke Puncak, Bogor. Ugh.. aku pun terus bersabar.
Aku sudah kuliah sekarang. Aku masuk ke salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Dan aku mengambil jurusan Ilmu Pertanian karena aku mengingat Kevin dan alamnya. Di masa Orientasi aku berulang tahun. Aku dikerjai oleh senior-seniorku. Aku disuruh mencari senior yang bernama Kevin setelah aku disuruh menceritakan kisah cinta pertamaku. Dan mereka menertawakan ceritaku.
Aku pergi ke Ruang Dekan dan meminta Daftar Nama Mahasiswa di Universitas ini. Kubuka dari halaman ke halaman dan aku menemukan satu nama yang sangat familiar bagiku. Satu nama yang membuat jantungku berdegup kencang. Satu nama yang sangat aku rindukan. Kevin Lukas. “Terima kasih, Pak” aku mengembalikan buku itu pada Pak Joko selaku Dekan di Fakultasku dan berlari bertanya sana-sini. “Kamu tau Kevin Lukas nggak?” “Kamu kenal mahasiswa yang bernama Kevin Lukas nggak?” “Kamu tau dia dimana?” itulah pertanyaan yang aku lontarkan pada setiap orang yang ku lewati.
Hingga pada akhirnya ada seseorang yang tau dan menunjukkan bahwa Kevin Lukas ada di Perpustakaan aku langsung berlari ke perpustakaan. Aku mencari dari setiap slot ke slot yang lain dan deg aku menemukannya. Dari jarak sekitar 1 meter aku memperhatikan orang tersebut dengan teliti. Dan benar saja. Itu Kevin yang sangat aku rindukan. Tak terasa air mataku menetes. Kevin masih mencari buku hingga beberapa detik kemudian ia menyadari bahwa ia sedang diperhatikan, lalu menoleh padaku. Ia tak kalah syoknya denganku. Ku lihat matanya berkaca-kaca. Ia menjatuhkankan buku yang dibawanya lalu berlari memelukku.
Sungguh di luar dugaanku. Aku bertemu dengan Kevin? Benar-benar Kevin? Terima kasih Tuhan. Dia mengatakan sesuatu padaku. “Sepucuk daun teh itu benar-benar terjadi. Nyata. Aku bertemu denganmu lagi. Dan kamu harus tau satu hal Anya.” Ia menghentikan kata-katanya dan melepaskan pelukannya. Menggenggam erat tanganku lalu mengecup keningku. “Setelah kembalinya kamu ke Jakarta, tak ada satu pun yang menggantikanmu di hatiku. Aku juga sengaja kuliah di Jakarta untuk bertemu denganmu. Sebenarnya aku mendapat beasiswa kuliah di Jerman. Tapi aku menolaknya. Aku ingin bertemu denganmu. Aku sangat merindukanmu, Anya!” Aku tak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang keluar. Iya Kevin. Aku juga sangat merindukanmu.
Cerpen Karangan: Dayandini Hastiti Putri
Blog: dayandiniputri.blogspot.com
SMP Negeri 1 Pati
9B
Ini merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

No comments:

Post a Comment