Entah harus berapa jam lagi aku menunggunya. Sedangkan langit semakin
gelap dan waktu kian berlalu. Aku masih terdiam sambil mengotak-atik
handphoneku. Berharap ada balasan. Walau ku tau saat ini ada seorang
perempuan duduk di sampingku. Entah berapa menit berlalu, tapi kami
hanya saling diam, sok sibuk dengan HP masing-masing. Tapi sebenarnya
aku tau siapa dia.
“em, lagi menunggu bis atau jemputan nih mbak?” aku mulai memulai pembicaraan.
“jemputan”
“oo.. sama mbak, ambil jurusan apa?”
“manajemen”. Aku mengangguk saja sambil mencari-cari topik yang asyik untuk dibicarakan. Tapi sepuluh menit berlalu aku belum juga menemukannya. Kami saling diam lagi. Dan ini begitu menjenuhkan. Dalam kediaman ini rintik-rintik hujan mulai turun. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Hujan semakin deras, karenanya orang-orang berkumpul di halte tempatku duduk. Sehingga menggeser posisiku menjadi lebih dekat dengan mbak tadi. Pura-pura nggak kenal, diam, serta menunggu seseorang membuatku semakin gelisah. Duaaarrr…!!!! Suara petir menggelegar setelah kilat menyambar. Aku menutup kedua telinga dengan telapak tanganku, aku takut, rasanya ingin sekali menangis. Uuuuuh… kemana saja dia, kenapa saat aku butuh, dia selalu tak ada. Aku benci…, sebenarnya dia kekasihku atau bukan sih?, dia berguna nggak sih?, sekarang dia dimana?,dan sedang apa saat aku ketakutan seperti ini. Ahhh… pertanyaan-pertanyaan ini semakin membuatku resah. Aku ingin menangis. Beberapa menit berlalu, sepertinya suara petir mulai reda walau hujan turun dengan derasnya.
“aduuuh… dia kok belum datang juga ya?”
Kata perempuan yang duduk berdempetan denganku.
“pacar mbak ya? Mungkin masih di jalan mbak”
“padahal sudah dari tadi aku hubungi dia”
“tapi dia bilang pasti jemput kan?”
“em iya sih…, tapi lama banget ya?”
“ya sabar aja, hujan-hujan gini jalanan licin mbak, semoga saja pacar mbak itu bisa jemput mbak dalam keadaan selamat”
“hem iya ya”
“biar pelan asal selamat kan”
“setuju deh sama kamu”. Dan raut mukanya mulai berubah lebih tenang dari sebelumnya. Dasar lidah tak bertulang, mengapa dengan mudahnya aku mengatakan hal itu. Padahal saat ini aku juga tengah was-was dan resah. Saat ini aku tak mau ketemu kaca atau sejenisnya, pokoknya benda yang bisa memantulkan wajahku. Karena ku tahu raut muka ini sudah tak karuan. Demi menutupi raut muka ini, aku mengeluarkan novel yang sebenarnya tak ingin ku baca.
“em, lagi menunggu bis atau jemputan nih mbak?” aku mulai memulai pembicaraan.
“jemputan”
“oo.. sama mbak, ambil jurusan apa?”
“manajemen”. Aku mengangguk saja sambil mencari-cari topik yang asyik untuk dibicarakan. Tapi sepuluh menit berlalu aku belum juga menemukannya. Kami saling diam lagi. Dan ini begitu menjenuhkan. Dalam kediaman ini rintik-rintik hujan mulai turun. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Hujan semakin deras, karenanya orang-orang berkumpul di halte tempatku duduk. Sehingga menggeser posisiku menjadi lebih dekat dengan mbak tadi. Pura-pura nggak kenal, diam, serta menunggu seseorang membuatku semakin gelisah. Duaaarrr…!!!! Suara petir menggelegar setelah kilat menyambar. Aku menutup kedua telinga dengan telapak tanganku, aku takut, rasanya ingin sekali menangis. Uuuuuh… kemana saja dia, kenapa saat aku butuh, dia selalu tak ada. Aku benci…, sebenarnya dia kekasihku atau bukan sih?, dia berguna nggak sih?, sekarang dia dimana?,dan sedang apa saat aku ketakutan seperti ini. Ahhh… pertanyaan-pertanyaan ini semakin membuatku resah. Aku ingin menangis. Beberapa menit berlalu, sepertinya suara petir mulai reda walau hujan turun dengan derasnya.
“aduuuh… dia kok belum datang juga ya?”
Kata perempuan yang duduk berdempetan denganku.
“pacar mbak ya? Mungkin masih di jalan mbak”
“padahal sudah dari tadi aku hubungi dia”
“tapi dia bilang pasti jemput kan?”
“em iya sih…, tapi lama banget ya?”
“ya sabar aja, hujan-hujan gini jalanan licin mbak, semoga saja pacar mbak itu bisa jemput mbak dalam keadaan selamat”
“hem iya ya”
“biar pelan asal selamat kan”
“setuju deh sama kamu”. Dan raut mukanya mulai berubah lebih tenang dari sebelumnya. Dasar lidah tak bertulang, mengapa dengan mudahnya aku mengatakan hal itu. Padahal saat ini aku juga tengah was-was dan resah. Saat ini aku tak mau ketemu kaca atau sejenisnya, pokoknya benda yang bisa memantulkan wajahku. Karena ku tahu raut muka ini sudah tak karuan. Demi menutupi raut muka ini, aku mengeluarkan novel yang sebenarnya tak ingin ku baca.
Tak berapa lama kemudian muncul sesosok laki-laki dengan mengenakan mantel, dan membawa sebuah payung. Aku sok cuek.
“maaf mell, udah bikin kamu nunggu lama” katanya setengah berteriak.
“kemana aja sih…?!” bunyi hujan masih turun dengan derasnya menghalangi suaraku.
“lho Fandy ya…? Ya ampun sudah lama ya kita nggak ketemu” tiba-tiba mbak yang sedari tadi duduk berdempetan denganku ikut nimbrung. Namanya Dinda, mantan pacar Fandy yang ke… berapa ya??? Lupa.
“Dinda??”
“iya, aku Dinda, masa lupa sih? Masih ingat masa SMA kita kan?”
“ooo.. iya.” Fandy terlihat bego. “jadi sekarang kuliah disini?” pura-pura nggak tau lagi.
“iya. Dia siapa Fan? Adikmu ya? Kok kamu dulu nggak pernah cerita sih kalau punya adik perempuan, Cantik lagi” idiiih makin nyolot aja nih orang, uuuh nyesel juga kenapa tadi nggak memperkenalkan diri, kalau aku adalah cewek Fandy sekarang.
“bu… bukan, kenalin Din, dia Amellia pacarku”
“oh” hihihi melongo dia.
“aku Dinda, teman SMA-nya Fandy.
“aku Amellia”
“lagi nungguin jemputan ya?” kata Fandy.
“iya nih lama banget”
“em…” Fandy mengangguk. “tapi ini udah hampir maghrib lho”
“iya sih”
“mending mampir ke rumahku dulu”.
Sebel deh aku jadi dicuekin. Kayaknya dia masih sayang sama mantannya.
“gimana nih hujan masih deras, mampir ke rumahku dulu aja ya, nggak jauh dari sini kok” Fandy mengalihkan perhatiannya padaku.
“terserah”
“jangan cemberut gitu donk”
“biarin”
“hhhm ya maaf motornya lagi dibawa kakakku, jadi ya jalan kaki. Ayolah, kamu betah disini terus? Dingin lo… mendingan ke rumahku dulu”
“iya mell, Fandy benar tuh”. Hmmmh dia ikut-ikutan lagi.
“kamu sendiri gimana Din? Udah jam segini belum dijemput juga”
“yah ternyata dia nggak bisa jemput.. nunggu hujan reda aja deh”
Tuh kan… Fandy masih saja peduli sama Dinda. Mantan kesayangannya itu. Uuuuh dada ini terasa sesak.
“ya.. sudah aku ke rumahmu dulu deh” aku mulai angkat bicara untuk mengalihkan perhatian Fandy.
“nha! gitu donk… Nih payungnya” ku raih payung dari tangan Fandy dan beranjak dari tempat dudukku.
“o ya Din, ini kamu pake aja.” kata Fandy sambil melepas mantelnya, aku terkejut melihat sikapnya.
“lho buat apa? Nggak usah repot-repot Fan. Paling bentar lagi hujan reda”
“siapa yang bisa jamin, sudahlah bawa saja, siapa tau berguna”. uuuuh… maksudnya apa sih? Dia ngasih perhatian ke Dinda di depan mata kepalaku.
“lho say, terus kamu gimana? Payung ini kan Cuma muat satu orang”
“nggak masalah kok. Aku bisa lari-lari”
“haa??”
Sontak dia berlari meninggalkan halte. Aku linglung lalu menatap Dinda, Dinda pun menatapku. Sepertinya kami sama sama bingung. Setelah itu aku berlari menggunakan payung yang diberikan Fandy.
“Fandy…!!! Tunggu…!!” kataku setengah berteriak, dia menoleh ke arahku. Terlihat dia berlari-lari kecil sambil menungguku. Tak berapa lama langkahku berhasil mengiringi langkahnya.
“kamu bodoh ya, kamu masih sayang kan sama Dinda?”
“eh.. eh siapa bilang!”
“terus tadi ngapain pake ngasih mantel segala. bodoh. kamu bisa sakit kalau kaya gini”
Tapi dia malah senyum-senyum nggak jelas.
“eh malah senyam-senyum”
“hem.. kamu cemburu kan?”
“ya jelaslah”
“ya bagus deh”
Dia semakin membuatku sebal hari ini. Perlahan dia mulai mendekat.
“menurutmu lebih baik yang mana? Dinda dengan keadaannya tadi atau keadaanmu sekarang?”
Mendengar itu aku tersadar, aku lebih beruntung daripada Dinda. Pacar Dinda tidak bisa menjemputnya pada saat seperti ini, bagiku itu sangat menyedihkan. Tapi Fandy masih mau berusaha dan berkorban. Ya seharusnya aku beruntung saat ini.
“haduuuh… malah senyum-senyum, senyumanmu itu membunuhku mell, seneng ya lihat pacar sengsara.”
“salah sendiri bawa payung Cuma muat buat satu orang. Percuma tau! Nih lihat rok ku saja kebasahan” protes ini cuma iseng kok hihihi
“gini-gini sudah usaha kali mell”
Aku berjalan cepat dan dia masih berlari-lari kecil di sampingku. Aku tersenyum, diam-diam aku mengarahkan payung ke atas kepalanya.
“jangan lari-lari terus nyantai aja…” kataku. Tanpa dia sadari separuh lingkaran payung ini telah berada di atas kepalanya. Dan setengahnya lagi di atas kepalaku. Perasaan yang carut-marut tadi telah terobati. Terima kasih Tuhan kau telah pertemukan aku dengannya. Di hari ini, disaat kegelisahan menghampiriku, dia datang dengan apa adanya. Jiwa sosial dan kelembutan hatinya mampu meredam amarah dan kecemburuanku. Ku harap dia selalu ada untukku.
“maaf mell, udah bikin kamu nunggu lama” katanya setengah berteriak.
“kemana aja sih…?!” bunyi hujan masih turun dengan derasnya menghalangi suaraku.
“lho Fandy ya…? Ya ampun sudah lama ya kita nggak ketemu” tiba-tiba mbak yang sedari tadi duduk berdempetan denganku ikut nimbrung. Namanya Dinda, mantan pacar Fandy yang ke… berapa ya??? Lupa.
“Dinda??”
“iya, aku Dinda, masa lupa sih? Masih ingat masa SMA kita kan?”
“ooo.. iya.” Fandy terlihat bego. “jadi sekarang kuliah disini?” pura-pura nggak tau lagi.
“iya. Dia siapa Fan? Adikmu ya? Kok kamu dulu nggak pernah cerita sih kalau punya adik perempuan, Cantik lagi” idiiih makin nyolot aja nih orang, uuuh nyesel juga kenapa tadi nggak memperkenalkan diri, kalau aku adalah cewek Fandy sekarang.
“bu… bukan, kenalin Din, dia Amellia pacarku”
“oh” hihihi melongo dia.
“aku Dinda, teman SMA-nya Fandy.
“aku Amellia”
“lagi nungguin jemputan ya?” kata Fandy.
“iya nih lama banget”
“em…” Fandy mengangguk. “tapi ini udah hampir maghrib lho”
“iya sih”
“mending mampir ke rumahku dulu”.
Sebel deh aku jadi dicuekin. Kayaknya dia masih sayang sama mantannya.
“gimana nih hujan masih deras, mampir ke rumahku dulu aja ya, nggak jauh dari sini kok” Fandy mengalihkan perhatiannya padaku.
“terserah”
“jangan cemberut gitu donk”
“biarin”
“hhhm ya maaf motornya lagi dibawa kakakku, jadi ya jalan kaki. Ayolah, kamu betah disini terus? Dingin lo… mendingan ke rumahku dulu”
“iya mell, Fandy benar tuh”. Hmmmh dia ikut-ikutan lagi.
“kamu sendiri gimana Din? Udah jam segini belum dijemput juga”
“yah ternyata dia nggak bisa jemput.. nunggu hujan reda aja deh”
Tuh kan… Fandy masih saja peduli sama Dinda. Mantan kesayangannya itu. Uuuuh dada ini terasa sesak.
“ya.. sudah aku ke rumahmu dulu deh” aku mulai angkat bicara untuk mengalihkan perhatian Fandy.
“nha! gitu donk… Nih payungnya” ku raih payung dari tangan Fandy dan beranjak dari tempat dudukku.
“o ya Din, ini kamu pake aja.” kata Fandy sambil melepas mantelnya, aku terkejut melihat sikapnya.
“lho buat apa? Nggak usah repot-repot Fan. Paling bentar lagi hujan reda”
“siapa yang bisa jamin, sudahlah bawa saja, siapa tau berguna”. uuuuh… maksudnya apa sih? Dia ngasih perhatian ke Dinda di depan mata kepalaku.
“lho say, terus kamu gimana? Payung ini kan Cuma muat satu orang”
“nggak masalah kok. Aku bisa lari-lari”
“haa??”
Sontak dia berlari meninggalkan halte. Aku linglung lalu menatap Dinda, Dinda pun menatapku. Sepertinya kami sama sama bingung. Setelah itu aku berlari menggunakan payung yang diberikan Fandy.
“Fandy…!!! Tunggu…!!” kataku setengah berteriak, dia menoleh ke arahku. Terlihat dia berlari-lari kecil sambil menungguku. Tak berapa lama langkahku berhasil mengiringi langkahnya.
“kamu bodoh ya, kamu masih sayang kan sama Dinda?”
“eh.. eh siapa bilang!”
“terus tadi ngapain pake ngasih mantel segala. bodoh. kamu bisa sakit kalau kaya gini”
Tapi dia malah senyum-senyum nggak jelas.
“eh malah senyam-senyum”
“hem.. kamu cemburu kan?”
“ya jelaslah”
“ya bagus deh”
Dia semakin membuatku sebal hari ini. Perlahan dia mulai mendekat.
“menurutmu lebih baik yang mana? Dinda dengan keadaannya tadi atau keadaanmu sekarang?”
Mendengar itu aku tersadar, aku lebih beruntung daripada Dinda. Pacar Dinda tidak bisa menjemputnya pada saat seperti ini, bagiku itu sangat menyedihkan. Tapi Fandy masih mau berusaha dan berkorban. Ya seharusnya aku beruntung saat ini.
“haduuuh… malah senyum-senyum, senyumanmu itu membunuhku mell, seneng ya lihat pacar sengsara.”
“salah sendiri bawa payung Cuma muat buat satu orang. Percuma tau! Nih lihat rok ku saja kebasahan” protes ini cuma iseng kok hihihi
“gini-gini sudah usaha kali mell”
Aku berjalan cepat dan dia masih berlari-lari kecil di sampingku. Aku tersenyum, diam-diam aku mengarahkan payung ke atas kepalanya.
“jangan lari-lari terus nyantai aja…” kataku. Tanpa dia sadari separuh lingkaran payung ini telah berada di atas kepalanya. Dan setengahnya lagi di atas kepalaku. Perasaan yang carut-marut tadi telah terobati. Terima kasih Tuhan kau telah pertemukan aku dengannya. Di hari ini, disaat kegelisahan menghampiriku, dia datang dengan apa adanya. Jiwa sosial dan kelembutan hatinya mampu meredam amarah dan kecemburuanku. Ku harap dia selalu ada untukku.
Selesai
Cerpen Karangan: Elin Rachma Y
Facebook: Rachma Yulita
Facebook: Rachma Yulita
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-romantis/sepayung-berdua.html
No comments:
Post a Comment