Saturday 26 September 2015

DASAR-DASAR PEWARISAN MENDEL





Keyword :
BAB II

DASAR-DASAR

PEWARISAN MENDEL

 Hukum Segregasi

 Hukum Pemilihan Bebas

 Formulasi Matematika

 Silang Balik dan Silang Uji

 Modifikasi Nisbah Mendel

 Teori Peluang

 Uji X2

 Alel Ganda

2

BAB II.  DASAR-DASAR PEWARISAN MENDEL

Seorang biarawan dari Austria, bernama Gregor Johann

Mendel, menjelang akhir abad ke-19 melakukan

serangkaian percobaan persilangan pada kacang ercis

(Pisum sativum). Dari percobaan yang dilakukannya selama

bertahun-tahun tersebut, Mendel berhasil menemukan

prinsip-prinsip pewarisan sifat, yang kemudian menjadi

landasan utama bagi perkembangan genetika sebagai suatu

cabang ilmu pengetahuan. Berkat karyanya inilah, Mendel

diakui sebagai Bapak Genetika.

Mendel memilih kacang ercis sebagai bahan

percobaannya, terutama karena tanaman ini memiliki

beberapa pasang sifat yang sangat mencolok perbedaannya,

misalnya warna bunganya mudah sekali untuk dibedakan

antara yang ungu dan yang putih. Selain itu, kacang ercis

merupakan tanaman yang dapat menyerbuk sendiri, dan

dengan bantuan manusia, dapat juga menyerbuk silang. Hal

ini disebabkan oleh adanya bunga sempurna, yaitu bunga

yang mempunyai alat kelamin jantan dan betina.

Pertimbangan lainnya adalah bahwa kacang ercis memiliki

3

daur hidup yang relatif pendek, serta mudah untuk

ditumbuhkan dan dipelihara. Mendel juga beruntung,

karena secara kebetulan kacang ercis yang digunakannya

merupakan tanaman diploid (mempunyai dua perangkat

kromosom). Seandainya ia menggunakan organisme

poliploid, maka ia tidak akan memperoleh hasil persilangan

yang sederhana dan mudah untuk dianalisis.

Pada salah satu percobaannya Mendel menyilangkan

tanaman kacang ercis yang tinggi dengan yang pendek. Tanaman

yang dipilih adalah tanaman galur murni, yaitu tanaman yang

kalau menyerbuk sendiri tidak akan menghasilkan tanaman yang

berbeda dengannya. Dalam hal ini tanaman tinggi akan tetap

menghasilkan tanaman tinggi. Begitu juga tanaman pendek akan

selalu menghasilkan tanaman pendek. 

Dengan menyilangkan galur murni tinggi dengan galur

murni pendek, Mendel mendapatkan tanaman yang semuanya

tinggi. Selanjutnya, tanaman tinggi hasil persilangan ini

dibiarkan menyerbuk sendiri. Ternyata keturunannya

memperlihatkan nisbah (perbandingan) tanaman tinggi terhadap

tanaman pendek sebesar 3 : 1.  Secara skema, percobaan Mendel

dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut.



4

                   

                                 P :       ♀ Tinggi      x        Pendek ♂

                                                   DD                       dd

                                 Gamet         D                          d

                                                                 

                                  F1 :                      Tinggi

                                                                 Dd



                                  Menyerbuk sendiri  (Dd   x   Dd)

                                                                                

                                   F2 :

       

Gamet

Gamet 

        D DD

D d

        d Dd

     

(tinggi)

     

(tinggi)

Dd

     

(tinggi)

 dd

     

(pendek

)

                  Tinggi (D-) : pendek (dd) = 3 : 1

                   DD : Dd : dd  = 1 : 2 : 1

5

Gambar 2.1. Diagram persilangan monohibrid untuk

sifat tinggi tanaman

Individu tinggi dan pendek yang digunakan pada awal

persilangan dikatakan sebagai tetua (parental), disingkat P. 

Hasil persilangannya merupakan keturunan (filial) generasi

pertama, disingkat F1.  Persilangan sesama individu F1

menghasilkan keturunan generasi ke dua, disingkat F2.  Tanaman

tinggi pada generasi P dilambangkan dengan DD, sedang

tanaman pendek dd.  Sementara itu, tanaman tinggi yang

diperoleh pada generasi F1 dilambangkan dengan Dd. 

Pada diagram persilangan monohibrid tersebut di atas,

nampak bahwa untuk menghasilkan individu Dd pada F1, maka

baik DD maupun dd pada generasi P membentuk gamet (sel

kelamin). Individu DD membentuk gamet D, sedang individu dd

membentuk gamet d. Dengan demikian, individu Dd pada F1

merupakan hasil penggabungan kedua gamet tersebut. Begitu

pula halnya, ketika sesama individu Dd ini melakukan

penyerbukan sendiri untuk menghasilkan F2, maka masing-

masing akan membentuk gamet terlebih dahulu. Gamet yang

dihasilkan oleh individu Dd ada dua macam, yaitu D dan d. 

Selanjutnya, dari kombinasi gamet-gamet tersebut diperoleh

6

individu-individu generasi F2 dengan nisbah DD : Dd : dd = 1 : 2

: 1.  Jika DD dan dd dikelompokkan menjadi satu (karena sama-

sama melambangkan individu tinggi), maka nisbah tersebut

menjadi D : dd = 3 : 1.

Dari diagram itu pula dapat dilihat bahwa pewarisan suatu

sifat ditentukan oleh pewarisan materi tertentu, yang dalam

contoh tersebut dilambangkan dengan D atau d.  Mendel

menyebut materi yang diwariskan ini sebagai faktor keturunan

(herediter), yang pada perkembangan berikutnya hingga

sekarang dinamakan gen.

Terminologi  

Ada beberapa istilah yang perlu diketahui untuk menjelaskan

prinsip-prinsip pewarisan sifat.  Seperti telah disebutkan di atas,

P adalah individu tetua, F1 adalah keturunan generasi pertama,

dan F2  adalah keturunan generasi ke dua. Selanjutnya, gen D

dikatakan sebagai gen atau alel dominan, sedang gen d

merupakan gen atau alel resesif. Alel adalah bentuk alternatif

suatu gen yang terdapat pada lokus (tempat) tertentu.  Gen D

dikatakan dominan terhadap gen d, karena ekpresi gen D akan

menutupi ekspresi gen d jika keduanya terdapat bersama-sama

dalam satu individu (Dd). Dengan demikian, gen dominan

7

adalah gen yang ekspresinya menutupi ekspresi alelnya.

Sebaliknya, gen resesif adalah gen yang ekspresinya ditutupi

oleh ekspresi alelnya.

Individu Dd dinamakan individu heterozigot, sedang

individu DD dan dd masing-masing disebut sebagai individu

homozigot dominan dan homozigot resesif. Sifat-sifat yang

dapat langsung diamati pada individu-individu tersebut, yakni

tinggi atau pendek, dinamakan fenotipe.  Jadi, fenotipe adalah

ekspresi gen yang langsung dapat diamati sebagai suatu sifat

pada suatu individu. Sementara itu, susunan genetik yang

mendasari pemunculan suatu sifat dinamakan genotipe.  Pada

contoh tersebut di atas, fenotipe tinggi (D) dapat dihasilkan dari

genotipe DD atau Dd, sedang fenotipe pendek (dd) hanya

dihasilkan dari genotipe dd.  Nampak bahwa pada individu

homozigot resesif, lambang untuk fenotipe sama dengan

lambang untuk genotipe.   .

Hukum Segregasi

Sebelum melakukan suatu persilangan, setiap individu

menghasilkan gamet-gamet yang kandungan gennya separuh

dari kandungan gen pada individu. Sebagai contoh, individu DD

akan membentuk gamet D, dan individu dd akan membentuk

8

gamet d.  Pada individu Dd, yang menghasilkan gamet D dan

gamet d, akan terlihat bahwa gen D dan gen d akan dipisahkan

(disegregasi) ke dalam gamet-gamet yang terbentuk tersebut. 

Prinsip inilah yang kemudian dikenal sebagai hukum segregasi

atau hukum Mendel I. 

Hukum Segregasi :

Pada waktu berlangsung pembentukan gamet, tiap

pasang gen akan disegregasi ke dalam masing-

masing gamet yang terbentuk.

Hukum Pemilihan Bebas

Persilangan yang hanya menyangkut pola pewarisan satu

macam sifat seperti yang dilakukan oleh Mendel tersebut di atas

dinamakan persilangan monohibrid.  Mendel melakukan

persilangan monohibrid  untuk enam macam sifat lainnya, yaitu

warna bunga (ungu-putih), warna kotiledon (hijau-kuning),

warna biji (hijau-kuning), bentuk polong (rata-berlekuk),

permukaan biji (halus-keriput), dan letak bunga (aksial-

terminal).

 Selain persilangan monohibrid, Mendel juga

melakukan persilangan dihibrid, yaitu persilangan

9

yang melibatkan pola perwarisan dua macam sifat

seketika. Salah satu di antaranya adalah persilangan

galur murni kedelai berbiji kuning-halus dengan

galur murni berbiji hijau-keriput. Hasilnya berupa

tanaman kedelai generasi F1 yang semuanya berbiji

kuning-halus. Ketika tanaman F1 ini dibiarkan

menyerbuk sendiri, maka diperoleh empat macam

individu generasi F2, masing-masing berbiji kuning-

halus, kuning-keriput, hijau-halus, dan hijau-keriput

dengan nisbah 9 : 3 : 3 : 1.

Jika gen yang menyebabkan biji berwarna kuning dan hijau

masing-masing adalah gen G dan g, sedang gen yang

menyebabkan biji halus dan keriput masing-masing adalah gen

W dan gen w, maka persilangan dihibrid terdsebut dapat

digambarkan secara skema seperti pada diagram berikut ini.

P :         ♀  Kuning, halus            x           Hijau, keriput ♂

                       GGWW                                  ggww  

10

Gamet                 GW                                       gw 

                                                   

 F1 :                                  Kuning, halus     

                                                GgWw



                                  Menyerbuk sendiri  (GgWw  x   GgWw

)

                                                                                       

                 

F2 :

Gamet



Gamet ♀

GW GGWW

GW Gw gW gw

(kuning,

halus)

Gw GGWw

(kuning,

halus)

GGWw

(kuning,h

alus)

GGww

(kuning,k

eriput)

GgWW

(kuning,h

alus)

GgWw

(kuning,h

alus)

GgWw

(kuning,ha

lus)

Ggww

(kuning,ke

riput)

11

gW GgWW

(kuning,

halus)

gw GgWw

(kuning,

halus)

GgWw

(kuning,h

alus)

Ggww

(kuning,k

eriput)

ggWW

(hijau,hal

us)

ggWw

(hijau,hal

us)

ggWw

(hijau,halu

s)

ggww

(hijau,keri

put)

Gambar 2.2. Diagram persilangan dihibrid untuk sifat

warna dan bentuk biji

Dari diagram persilangan dihibrid tersebut di atas dapat

dilihat bahwa fenotipe F2 memiliki nisbah 9 : 3 : 3 : 1 sebagai

akibat terjadinya segregasi gen G dan W secara independen.

Dengan demikian, gamet-gamet yang terbentuk dapat

mengandung kombinasi gen dominan dengan gen dominan

(GW), gen dominan dengan gen resesif (Gw dan gW), serta gen

resesif dengan gen resesif (gw). Hal inilah yang kemudian

dikenal sebagai hukum pemilihan bebas (the law of independent

assortment) atau hukum Mendel II.

Hukum Pemilihan Bebas :

12

Segregasi suatu pasangan gen tidak bergantung

kepada segregasi pasangan gen lainnya, sehingga

di dalam gamet-gamet yang terbentuk akan terjadi

pemilihan kombinasi gen-gen secara bebas.  

Diagram kombinasi gamet ♂ dan gamet ♀ dalam

menghasilkan individu generasi F2 seperti pada Gambar 2.2

dinamakan diagram Punnett. Ada cara lain yang dapat digunakan

untuk menentukan kombinasi gamet pada individu generasi F2,

yaitu menggunakan diagram anak garpu (fork line). Cara ini

didasarkan pada perhitungan matematika bahwa persilangan

dihibrid merupakan dua kali persilangan monohibrid. Untuk

contoh persilangan sesama individu GgWw, diagram anak

garpunya adalah sebagai berikut.

    Gg x Gg          Ww x Ww        

13

                                         

                                            3 W-    9 G-W-   (kuning, halus)

                 3 G-                   1 ww     3 G-ww  (kuning, keriput)  

                                            3 W-    3 ggW-    (hijau, halus)

                  1 gg                   1 ww    1 ggww   (hijau, keriput)

             Gambar 2.3. Diagram anak garpu pada persilangan dihibrid

Ternyata penentuan nisbah fenotipe F2 menggunakan

diagram anak garpu dapat dilakukan dengan lebih cepat dan

dengan risiko kekeliruan yang lebih kecil daripada penggunaan

diagram Punnett. Kelebihan cara diagram anak garpu ini akan

lebih terasa apabila persilangan yang dilakukan melibatkan lebih

dari dua pasang gen (trihibrid, tetrahibrid,dan seterusnya) atau

pada persilangan-persilangan di antara individu yang

genotipenya tidak sama. Sebagai contoh, hasil persilangan antara

AaBbcc dan aaBbCc akan lebih mudah diketahui nisbah fenotipe

dan genotipenya apabila digunakan cara diagram anak garpu,

yaitu

14

Aa x aa          Bb x Bb         cc x Cc

                                          

                                                 1 C-      3 A-B-C-                        

                            3 B-              1 cc       3 A-B-cc

     1 A-                1 bb              1C-        1 A-bbC-             

                                                  1 cc       1 A-bbcc

                                                  1 C-       3 aaB-C-

                              3 B-              1 cc       3 aaB-cc

      1 aa                  1 bb              1 C-      1 aabbC-

                                                    1 cc       1 aabbcc

                                              (a)

Aa x aa          Bb x Bb         cc x Cc

                                          

                                                 1 Cc              1 AaBBCc

                          1 BB               1 cc                1 AaBBcc     

                                                 1 Cc               2 AaBbCc        

      1 Aa            2 Bb               1 cc                 2 AaBbcc        

                                                  1 Cc               1 AabbCc 

                            1 bb               1 cc                 1 Aabbcc 

                            1 BB              1 Cc                1 aaBBCc

                                                   1 cc                 1 aaBBcc         

      1 aa                 2 Bb              1 Cc                2 aaBbCc     

                                                   1 cc                  2 aaBbcc     

                              1 bb              1 Cc                1 aabbCc             

                                                   1 cc                  1 aabbcc

                                                 (b)         

           Gambar 2.4. Contoh penggunaan diagram anak garpu

            (a) Penentuan nisbah fenotipe   

            (b) Penentuan nisbah genotipe

15

Formulasi matematika pada berbagai jenis persilangan

Individu F1 pada suatu persilangan monohibrid, misalnya Aa,

akan menghasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Gamet-

gamet ini, baik dari individu jantan maupun betina, akan

bergabung menghasilkan empat individu F2 yang dapat

dikelompokkan menjadi dua macam fenotipe (A- dan aa) atau

tiga macam genotipe  (AA, Aa, dan aa).

Sementara itu, individu F1 pada persilangan dihibrid,

misalnya AaBb, akan membentuk empat macam gamet, masing-

masing AB,Ab, aB, dan ab. Selanjutnya pada generasi F2 akan

diperoleh 16 individu yang terdiri atas empat macam fenotipe

(A-B-, A-bb, aaB-, dan aabb) atau sembilan macam genotipe

(AABB, AABb, Aabb, AaBB, AaBb, Aabb, aaBB, aaBb, dan

aabb).

Dari angka-angka tersebut akan terlihat adanya hubungan

matematika antara jenis persilangan (banyaknya pasangan gen),

macam gamet F1, jumlah individu F2, serta macam fenotipe dan

genotipe F2. Hubungan matematika akan diperoleh pula pada

persilangan-persilangan yang melibatkan pasangan gen yang

lebih banyak (trihibrid, tetrahibrid, dan seterusnya), sehingga

secara ringkas dapat ditentukn formulasi matematika seperti

pada tabel 2.1 berikut ini.

16

    Tabel 2.1. Formulasi matematika pada berbagai

persilangan

Persilan

gan

Mac

am

gam

indivi

et F1

2 4 2 3 3 : 1

Juml

ah

du F2

Maca

m

fenoti

pe F2

Maca

m

genot

ipe F2

Nisbah fenotipe

F2

monohib

rid

dihibrid 4 16 4 9 9 : 3 : 3 : 1

trihibrid 8 64 8 27 27 : 9 : 9 : 9 : 3 :

3 : 3 : 1

n  hibrid 2n 4n 2n 3n ( 3 : 1 )n

Pada kolom terakhir dapat dilihat adanya formulasi untuk

nisbah fenotipe F2. Kalau angka-angka pada nisbah 3 : 1

dijumlahkan lalu dikuadratkan, maka akan didapatkan ( 3 + 1 )2

=  32 + 2.3.1 + 12 = 9 + 3 + 3 + 1, yang tidak lain merupakan

angka-angka pada nisbah hasil persilangan dihibrid. Demikian

pula jika dilakukan pemangkattigaan, maka akan diperoleh ( 3 +

1 )3 =  33 + 3.32.11 + 3.31.12+ 13 = 27 + 9 + 9 + 9 + 3 + 3 + 3 + 1,

yang merupakan angka-angka pada nisbah hasil persilangan

trihibrid.

17

Silang balik (back cross) dan silang uji (test cross)

Silang balik ialah persilangan suatu individu dengan salah

satu tetuanya. Sebagai contoh, individu Aa hasil persilangan

antara AA dan aa dapat disilangbalikkan, baik  dengan AA

maupun aa.  Silang balik antara Aa dan AA akan menghasilkan

satu macam fenotipe, yaitu A-, atau dua macam genotipe, yaitu

AA dan Aa dengan nisbah 1 : 1. Sementara itu, silang balik

antara Aa dan aa akan menghasilkan dua macam fenotipe, yaitu

A- dan aa dengan nisbah 1 : 1,   atau dua macam genotipe,  yaitu

Aa dan aa  dengan nisbah 1 : 1.  

Manfaat praktis silang balik adalah untuk memasukkan gen

tertentu yang diinginkan ke dalam suatu individu.  Melalui silang

balik yang dilakukan berulang-ulang, dapat dimungkinkan

terjadinya pemisahan gen-gen tertentu yang terletak pada satu

kromosom sebagai akibat berlangsungnya peristiwa pindah

silang (lihat juga Bab V). Hal ini banyak diterapkan di bidang

pertanian, misalnya untuk memisahkan gen yang mengatur daya

simpan beras dan gen yang menyebabkan rasa nasi kurang enak.

Dengan memisahkan dua gen yang terletak pada satu kromosom

ini, dapat diperoleh varietas padi yang berasnya tahan simpan

dan rasa nasinya enak.

18

Apabila suatu silang balik dilakukan dengan tetuanya yang

homozigot resesif, maka silang balik semacam ini disebut juga

silang uji. Akan tetapi, silang uji sebenarnya tidak harus terjadi

antara suatu individu dan tetuanya yang homozigot resesif.  Pada

prinsipnya semua persilangan yang melibatkan individu

homozigot resesif (baik tetua maupun bukan tetua) dinamakan

silang uji.

Istilah silang uji digunakan untuk menunjukkan bahwa

persilangan semacam ini dapat menentukan genotipe suatu

individu.  Sebagai contoh, suatu tanaman yang fenotipenya

tinggi  (D-) dapat ditentukan genotipenya (DD atau Dd) melalui

silang uji dengan tanaman homozigot resesif (dd). 

Kemungkinan hasilnya dapat dilihat pada diagram berikut ini.

                               DD x dd                   Dd x dd

                                                                  

                              Dd  (tinggi)          1 Dd (tinggi)

                                                           1 dd (pendek)       

                                    Gambar 2.5. Contoh diagram

silang uji

Jadi, apabila tanaman tinggi yang disilang uji adalah homozigot

(DD), maka hasilnya berupa satu macam fenotipe, yaitu tanaman

19

tinggi. Sebaliknya, jika tanaman tersebut heterozigot (Dd), maka

hasilnya ada dua macam fenotipe, yaitu tanaman tinggi dan

pendek dengan nisbah 1 : 1.

Modifikasi Nisbah Mendel

Percobaan-percobaan persilangan sering kali memberikan

hasil yang seakan-akan menyimpang dari hukum Mendel. Dalam

hal ini tampak bahwa nisbah fenotipe yang diperoleh mengalami

modifikasi dari nisbah yang seharusnya sebagai akibat terjadinya

aksi gen tertentu. Secara garis besar modifikasi nisbah Mendel

dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu modifikasi nisbah

3 : 1 dan modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1.

Modifikasi Nisbah  3 : 1

Ada tiga peristiwa yang menyebabkan terjadinya

modifikasi nisbah 3 : 1, yaitu semi dominansi,

kodominansi, dan gen letal.

Semi dominansi  

Peristiwa semi dominansi terjadi apabila suatu gen dominan

tidak menutupi pengaruh alel resesifnya dengan sempurna,

sehingga pada individu heterozigot akan muncul sifat antara

(intermedier). Dengan demikian, individu heterozigot akan

20

memiliki fenotipe yang berbeda dengan fenotipe individu

homozigot dominan. Akibatnya, pada generasi F2 tidak

didapatkan nisbah fenotipe 3 : 1, tetapi menjadi 1 : 2 : 1 seperti

halnya nisbah genotipe.

Contoh peristiwa semi dominansi dapat dilihat pada

pewarisan warna bunga pada tanaman bunga pukul empat

(Mirabilis jalapa). Gen yang mengatur warna bunga pada

tanaman ini adalah M, yang menyebabkan bunga berwarna

merah, dan gen m, yang menyebabkan bunga berwarna putih.

Gen M tidak dominan sempurna terhadap gen m, sehingga warna

bunga pada individu Mm bukannya merah, melainkan merah

muda. Oleh karena itu, hasil persilangan sesama genotipe Mm

akan menghasilkan generasi F2 dengan nisbah fenotipe merah :

merah muda : putih = 1 : 2 : 1.

Kodominansi

Seperti halnya semi dominansi, peristiwa kodominansi akan

menghasilkan nisbah fenotipe 1 : 2 : 1 pada generasi F2.

Bedanya, kodominansi tidak memunculkan sifat antara pada

individu heterozigot, tetapi menghasilkan sifat yang merupakan

hasil ekspresi masing-masing alel. Dengan perkataan lain, kedua

alel akan sama-sama diekspresikan dan tidak saling menutupi.

21

Peristiwa kodominansi dapat dilihat misalnya pada

pewarisan golongan darah sistem ABO pada manusia (lihat juga

bagian pada bab ini tentang beberapa contoh alel ganda).  Gen IA

dan IB masing-masing menyebabkan terbentuknya antigen A dan

antigen B di dalam eritrosit individu yang memilikinya. Pada

individu dengan golongan darah AB (bergenotipe IAIB) akan

terdapat baik antigen A maupun antigen B di dalam eritrositnya.

Artinya, gen IA dan IB sama-sama diekspresikan pada individu

heterozigot tersebut.

Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masing-

masing memiliki golongan darah AB dapat digambarkan seperti

pada diagram berikut ini.

                                             IAIB        x         IAIB

                                                          

                                                       1 IAIA   (golongan  darah A)

                                                       2 IAIB   (golongan darah AB)

                                                       1 IBIB   (golongan darah B)

                             Golongan darah A : AB : B = 1 : 2 : 1 

 Gambar 2.6. Diagram persilangan sesama individu bergolongan

darah AB

22

Gen letal

Gen letal ialah gen yang dapat mengakibatkan kematian pada

individu homozigot. Kematian ini dapat terjadi pada masa

embrio atau beberapa saat setelah kelahiran. Akan tetapi,

adakalanya pula terdapat sifat subletal, yang menyebabkan

kematian pada waktu individu yang bersangkutan menjelang

dewasa.

Ada dua macam gen letal, yaitu gen letal dominan dan gen

letal resesif. Gen letal dominan dalam keadaan heterozigot dapat

menimbulkan efek subletal atau kelainan fenotipe, sedang gen

letal resesif cenderung menghasilkan fenotipe normal pada

individu heterozigot.

 Peristiwa letal dominan antara lain dapat dilihat pada ayam

redep (creeper), yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang pendek

serta mempunyai genotipe heterozigot (Cpcp). Ayam dengan

genotipe CpCp mengalami kematian pada masa embrio. Apabila

sesama ayam redep dikawinkan, akan diperoleh keturunan

dengan nisbah fenotipe ayam redep (Cpcp) : ayam normal (cpcp)

=  2 : 1.  Hal ini karena ayam dengan genotipe CpCp tidak

pernah ada.

Sementara itu, gen letal resesif misalnya adalah gen

penyebab albino pada tanaman jagung. Tanaman jagung dengan

23

genotipe gg akan mengalami kematian setelah cadangan

makanan di dalam biji habis, karena tanaman ini tidak mampu

melakukan fotosintesis sehubungan dengan tidak adanya

khlorofil. Tanaman Gg memiliki warna hijau kekuningan,

sedang tanaman GG adalah hijau normal. Persilangan antara

sesama tanaman Gg akan menghasilkan keturunan dengan

nisbah fenotipe normal (GG) : kekuningan (Gg) = 1 : 2.

Modifikasi Nisbah  9 : 3 : 3 : 1

Modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1 disebabkan oleh peristiwa

yang dinamakan epistasis, yaitu penutupan ekspresi suatu gen

nonalelik. Jadi, dalam hal ini suatu gen bersifat dominan

terhadap gen lain yang bukan alelnya. Ada beberapa macam

epistasis, masing-masing menghasilkan nisbah fenotipe yang

berbeda pada generasi F2.

Epistasis resesif

Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif

menutupi ekspresi gen lain yang bukan alelnya.  Akibat

peristiwa ini,  pada generasi F2  akan diperoleh nisbah fenotipe 9 :

3 : 4.

Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada pewarisan warna

bulu mencit (Mus musculus).  Ada dua pasang gen nonalelik

24

yang mengatur warna bulu pada mencit, yaitu gen A

menyebabkan bulu berwarna kelabu, gen a menyebabkan bulu

berwarna hitam, gen C menyebabkan pigmentasi normal, dan

gen c menyebabkan tidak ada pigmentasi. Persilangan antara

mencit berbulu kelabu (AACC) dan albino (aacc) dapat

digambarkan seperti pada diagram berikut ini.

                                           P :   AACC   x   aacc

                                                   kelabu       albino

                                                               

                                            F1 :            AaCc

                                                             kelabu

                                            F2 :  9   A-C-    kelabu

3 A-cc    albino              kelabu : hitam : albino

=

3 aaC-    hitam                     9    :     3    :      4

1    aacc     albino      

                           Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis

resesif

Epistasis dominan

25

Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi

gen oleh suatu gen dominan yang bukan alelnya. Nisbah fenotipe

pada generasi F2 dengan adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 :

1.

Peristiwa epistasis dominan dapat dilihat misalnya pada

pewarisan warna buah waluh besar (Cucurbita pepo). Dalam hal

ini terdapat gen Y yang menyebabkan buah berwarna kuning dan

alelnya y yang menyebabkan buah berwarna hijau. Selain itu,

ada gen W yang menghalangi pigmentasi dan w yang tidak

menghalangi pigmentasi.  Persilangan antara waluh putih

(WWYY) dan waluh hijau (wwyy) menghasilkan nisbah

fenotipe generasi F2 sebagai berikut.  

                                  P  :   WWYY     x      wwyy

                                            putih                  hijau

                                                                  

                                  F1 :                  WwYy

                                                            putih

                                   F2 :    9 W-Y-   putih

                                            3  W-yy   putih                  putih : kuning : hijau =

3  wwY-  kuning                 12    :      3     :     1 

1   wwyy  hijau                                                           

                          Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis dominan

Epistasis resesif ganda

26

Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen

I, epistatis terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang

bukan alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini

juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang

terjadi dinamakan epistasis resesif ganda.  Epistasis ini

menghasilkan nisbah fenotipe 9 : 7 pada generasi F2.

Sebagai contoh peristiwa epistasis resesif ganda dapat

dikemukakan pewarisan kandungan HCN pada tanaman

Trifolium repens. Terbentuknya HCN pada tanaman ini dapat

dilukiskan secara skema sebagai berikut.

                                              gen L                                                   gen H

                                                                                                         

                  Bahan dasar       enzim L       glukosida sianogenik      enzim H       HCN                                 

Gen L menyebabkan terbentuknya enzim L yang mengatalisis

perubahan bahan dasar menjadi bahan antara berupa glukosida

sianogenik. Alelnya, l, menghalangi pembentukan enzim L. Gen

H menyebabkan terbentuknya enzim H yang mengatalisis

perubahan glukosida sianogenik menjadi HCN, sedangkan gen h

menghalangi pembentukan enzim H. Dengan demikian, l

epistatis terhadap H dan h, sementara h epistatis terhadap L dan

l.  Persilangan dua tanaman dengan kandungan HCN sama-sama

rendah tetapi genotipenya berbeda (LLhh dengan llHH) dapat

digambarkan sebagai berikut.

27

         

                                         P :          LLhh          x         llHH

                                                 HCN rendah           HCN rendah

                                                                                      

                                          F1 :                      LlHh

                                                                HCN tinggi

                                          F2 :   9  L-H-    HCN tinggi

                                                   3  L-hh    HCN rendah        HCN tinggi : HCN rendah =

                                                   3  llH-     HCN rendah                    9       :        7

                                                   1  llhh      HCN rendah      

                         Gambar 2.8. Diagram persilangan epistasis resesif ganda

Epistasis dominan ganda

Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap

pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen dominan

dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I,

maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis dominan ganda. 

Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 15 : 1 pada generasi

F2.

Contoh peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat pada

pewarisan bentuk buah Capsella. Ada dua macam bentuk buah

Capsella, yaitu segitiga dan oval. Bentuk segitiga disebabkan

oleh gen dominan C dan D, sedang bentuk oval disebabkan oleh

gen resesif c dan d. Dalam hal ini C dominan terhadap D dan d,

sedangkan D dominan terhadap  C dan c.

                                      P :    CCDD      x        ccdd

                                               segitiga              oval

28

                                                               

                                                 F1 :               CcDd

                                                                    segitiga

                                                 F2 :  9 C-D-      segitiga

                                                         3 C-dd      segitiga             segitiga : oval = 15 : 1 

                                                         3 ccD-       segitiga

                                                         1 ccdd        oval         

                            Gambar 2.9. Diagram persilangan epistasis dominan ganda

Epistasis domian-resesif

Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan dari

pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan

alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga

epistatis terhadap pasangan gen I.  Epistasis ini menghasilkan

nisbah fenotipe 13 : 3 pada generasi F2.

Contoh peristiwa epistasis dominan-resesif dapat dilihat pada

pewarisan warna bulu ayam ras. Dalam hal ini terdapat pasangan

gen I, yang menghalangi pigmentasi, dan alelnya, i,  yang tidak

menghalangi pigmentasi. Selain itu, terdapat gen C, yang

menimbulkan pigmentasi, dan alelnya, c, yang tidak

menimbulkan pigmentasi. Gen I dominan terhadap C dan c,

sedangkan gen c dominan terhadap I dan i.

                                       P :     IICC        x        iicc

                                                putih                 putih

                                                               

                                                 F1 :                IiCc

                                                                      putih

29

                                                 F2 :  9 I-C-      putih

                                                         3 I-cc      putih                    putih : berwarna  =  13 : 3 

                                                         3 iiC-      berwarna

                                                         1 iicc       putih

                            Gambar 2.10. Diagram persilangan epistasis dominan-resesif

Epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif

Pada Cucurbita pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu

cakram, bulat, dan lonjong. Gen yang mengatur pemunculan

fenotipe tersebut ada dua pasang, masing-masing B dan b serta L

dan l.  Apabila pada suatu individu terdapat sebuah atau dua

buah gen dominan dari salah satu pasangan gen tersebut, maka

fenotipe yang muncul adalah bentuk buah bulat (B-ll atau bbL-).

Sementara itu, apabila sebuah atau dua buah gen dominan dari

kedua pasangan gen tersebut berada pada suatu individu, maka

fenotipe yang dihasilkan adalah bentuk buah cakram (B-L-).

Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan berupa buah

berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan

epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif.

                                       P :     BBLL        x        bbll

                                                cakram              lonjong

                                                                 

                                                 F1 :                 BbLl

                                                                      cakram

30

                                                 F2 :  9 B-L-    cakram

                                                         3 B-ll      bulat                 cakram : bulat : lonjong =  9 : 6 : 1

                                                         3  bbL-    bulat

                                                         1  bbll      lonjong

            Gambar 2.11. Diagram persilangan epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif



Interaksi Gen

Selain mengalami berbagai modifikasi nisbah fenotipe

karena adanya peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula

penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak

melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan

fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi

dua pasang gen nonalelik.  Peristiwa semacam ini dinamakan

interaksi gen.

Peristiwa interaksi gen pertama kali dilaporkan oleh W.

Bateson dan R.C. Punnet setelah mereka mengamati pola

pewarisan bentuk jengger ayam. Dalam hal ini terdapat empat

macam bentuk jengger ayam, yaitu mawar, kacang, walnut, dan

tunggal, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.12.

                     Gambar 2.12. Bentuk jengger ayam dari galur yang berbeda

Persilangan ayam berjengger mawar dengan ayam

berjengger kacang menghasilkan keturunan dengan bentuk

walnut tungal kacang

mawar

31

jengger yang sama sekali berbeda dengan bentuk jengger kedua

tetuanya. Ayam hibrid (hasil persilangan) ini memiliki jengger

berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila ayam berjengger walnut

disilangkan dengan sesamanya, maka diperoleh generasi F2

dengan nisbah fenotipe walnut : mawar : kacang : tunggal = 9 : 3

: 3 : 1. 

Dari nisbah fenotipe tersebut, terlihat adanya satu kelas

fenotipe yang sebelumnya tidak pernah dijumpai, yaitu bentuk

jengger tunggal. Munculnya fenotipe ini, dan juga fenotipe

walnut, mengindikasikan adanya keterlibatan dua pasang gen

nonalelik yang berinteraksi untuk menghasilkan suatu fenotipe.

No comments:

Post a Comment